Melepas dengan Ikhlas

16 2 0
                                    

{Nanti, akan ada waktu. Luka yang ada didalam hati akan menjadi kenangan yang ingin kamu ucapkan terimakasih. Mungkin berkat dia, kamu bisa tumbuh setegar seperti sekarang ini.}
.
.
.
.
.



"Assalamualaikum!"

Makanan yang baru aku masukan dalam mulut langsung tertahan, bahkan akan aku muntahkan.

"Waaikumsalam, Alshad... Sini sarapan," ajak ibu ketika sosok itu masuk rumah dan langsung bejalan ke ruang makan.

"Gimana keadaanmu, Nduk?" tanya Mas Alshad cemas. Dia langsung menarik kursi dan langsung mendudukinya tepat di sampingku. Aku bahkan sempat tertegun dengannya cara itu.

"Hmm.... Aku baik-baik saja," kataku lalu meneruskan makan.

"Makan dulu. Nimas sudah tidak apa-apa. Dia sudah mau berangkat kuliah," sahut ibu.

Ibu dengan telaten mengambilkan piring untuk mas Alshad. Menambahkan nasi diatasnya lalu meletakkannya didepan masnya. Membiarkan dia mengambil sendiri menu yang ingin ia makan.

"Beneran gak apa-apa? Ke dokter ya?" Tawar mas Alshad penuh kecemasan. Dia menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Lalu ketangan. Memijat pelan pergelangan tanganku.

"Tidak perlu. Aku sudah baik-baik saja. Hanya kecapekan... Mas gak perlu khawatir,"

"Maafin mas ya.... Akhir-akhir ini mas sibuk. Jadi, tidak cepat kesini,"

"Ibu yang ngasih tahu mas Alshad kalau aku kurang sehat?" tanyaku kecewa pada ibu yang sibuk menuang air putih untukku dan mas Alshad.  Padahal aku sudah mewanti-wanti agar dia tidak mengetahuinya.

"Bukan. Bik Asih yang mengatakannya. Saat aku minta dia untuk mengantar seragam keluarga kemarin. Dia bilang kalau kamu sakit. Pantas saja chat ku tidak dibalas,"

Aku mengangguk. Bik Asih adalah asisten rumah tangga keluarga mas Alshad.

"Sarapan, Mas. Mau aku ambilkan sayurnya?" tawarku.

Dia mencegah tanganku untuk mengambil piringnya.

"Biar mas ambil sendiri," balasnya lalu mulai mengambil sayur dan lauk pauk untuk dirinya.

"Kamu beneran tidak mau kedokter? Jangan dipaksa kalau belum enak badannya."

"Tidak apa-apa. Aku sudah sehat. Sudah kuat."

Senyum diwajahku berusaha terus aku pamerkan. Agar dia melihat bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-kenapa. Aku tidak terluka apalagi sedang was-was akan kehilangan dia.

"Mbak Nadia bagaimana kabarnya? Setelah hari pertunangan kemarin aku belum sempat menghubungi dia lagi," tanyaku.

"Baik. Dia bersamaku terus. Hari ini pun kita fitting untuk terkahir kalinya. Agar saat acara besok tidak ada kendala lagi,"

"Baguslah... Semoga lancar,"

Sarapanku sudah tandas. Aku berdiri lalu berjalan menuju dapur. Aku cuci piring bekas makanku lalu mengembalikannya ke rak piring.

Ibu sudah menyapu diteras. Sedang ayah sejak pagi sudah tidak terlihat. Barangkali masih jalan-jalan pagi. Akhir-akhir ini ayah rajin sekali Joging.

"Aku antar ke kampus ya... Nanti pulang kampus aku juga akan menyusul," kata mas Alshad.

Makanannya cepat sekali. Baru juga aku tinggal di dapur dia sudah hampir selesai saja menghabisi makanannya.

"Tidak perlu mas. Kalau mengantar aku, nanti mas terlambat menemui mbak Nadia."

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang