Hari Pernikahan

16 1 1
                                    

{Jika hatiku patah saat ini, itu bukan salahmu. Namun harapanku yang terlalu tinggi kepadamu.

Doaku, semoga kamu selalu bahagia dengan pilihan hidupmu.

Dengan begitu, aku akan semakin ikhlas melepaskanmu}

.
.
.
.

B

agaimana aku bisa melewati hari ini. Kuatkah aku tanpa mengeluarkan air mata? Hari pertunangan saja aku kehilangan dayaku. Bagaimana nanti?

Aku harus hadir. Meskipun akan  tersayat-sayat, aku ingin melihat secara langsung laki-laki yang aku cintai mengucapkan ijab qabul pada perempuan pilihnya. Ku pikir aku akan lebih tenang dan merelakannya. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa orang yang aku cintai sudah tidak mungkin lagi kuharapkan.

Area pernikahan sangatlah mewah. Sebelumnya belum pernah aku temui pesta yang semewah ini. Dekorasinya didominasi warna putih dan Cream.

Aku terakhir bertemu dengan mas Alshad pagi itu_di saat Reyhan menjemputku. Dia tidak lagi menghubungi, bahkan mengirim pesan singkat saja sudah tidak ia lakukan.

Aku tersenyum tenang. Lihatlah, ia yang kemarin mengatakan jika aku tetap menjadi prioritasnya ternyata sudah mengingkari perkataannya.

Tak apa, pergilah karena aku tidak sanggup berjuang. Kali ini aku ikhlas jika kamu ingin berlari jauh meninggalkanku. Tak akan aku kejar, tak akan aku pinta untuk kembali.

Ku lihat Mas Alshad begitu gagahnya dengan busana pengantinnya. Dia sudah duduk didepan didampingi ayah dan juga seorang yang berumur sepadan yang sebentar lagi akan menjadi mertuanya. Penghulu sedang berbisik pada mas Alshad. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak me dengar. Aku ada diantara puluhan orang yang berjajar, duduk di bangku tamu undangan.

Ayah dan ibu ada di paling depan. Mereka tidak ingin sedikit pun ketinggalan melihat prosesi akad keponakannya itu.

Semua orang terlihat bahagia, apa hanya aku yang merasakan luka? Mengenaskan sekali kamu Nimas, tidak ada yang akan mengerti kepedihanmu saat ini.

Tubuhku bergetar hebat, aku coba untuk menahan sekuat tenaga. Mataku mulai panas dan tubuhku remang-remang.

Suara sound sistem terdengar dinyalakan. Lagu yang tadinya menggelegar dimatikan.

"Ananda Muhammad Alshad Al Fahri saya Nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Adinda Nadia Rahmawati binti Arya Pamungkas
dengan mas kawin seperangkat alat sholat dengan uang tunai duapuluh ribu USD dibayar tunai!"

Jantungku semakin berdetak kencang begitu mendengar ijab yang dilantunkan oleh penghulu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Rahmawati binti Arya Pamungkas, dengan mas kawin tersebut. Tunai!"

Deg!

Nafasku tersengal-sengal. Runtuhlah hatiku. Lumbung seketika tubuhku. Hancur bersamaan dengan kalimat Kobul yang diterima oleh laki-laki yang sampai saat ini masih menduduki tahta tertinggi didalam hati.

Sudah tidak ada alasan lagi untuk mencintai laki-laki yang beristri.

Aku bangkit dari dudukku. Menjauh dari keramaian yang menyiksa hati. Tangisku meledak, aku tidak ingin orang lain tahu aku sedang menangis tersedu.

Dari koridor hotel tersebut, aku duduk disalah satu bangku. Dimana, ada televisi yang menyiarkan secara langsung acara didalam aula utama hotel tersebut.

Kedua pengantin dipertemukan dan Mas Alshad memegang ubun-ubun Mbak Nadia, lalu mengecupnya lama sekali sambil melafalkan doa yang dipimpin oleh seorang kyai. Semua orang bahagia.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang