Menyambung Tali Pertemanan

6 0 0
                                    

Bukan memaksa sendiri, hanya terkadang itulah caranya menjaga diri. Sebagian lagi untuk menjaga Hati.
. . .
. .
.


POV : Nimas Khairunnisa'

Kita baru saja selesai berhenti untuk melaksanakan sholat di masjid pinggir jalan. Perjalanan ke puncak cukup memakan waktu. Aku tidak tahu, kenapa Reyhan dan Mbak Nadira malah mengajakku ke sana. Atau memang disana ada keperluan? Atau memang di puncak ada sebuah toko buku khusus tuna netra, karena itulah saat ini kami kesana.

Jika benar, berarti Reyhan tidak berbohong tentang alasan mengajakku tadi.

Mobil mulai melaju lagi. Mengikis jalan yang mulai rimbun akan pohon-pohon besar. Jalan yang menanjak dan perlu perhatian cukup untuk melalui tikungan tajam.

Lebar jalan hanya bisa dilalui oleh dua mobil saja. Jika jalan yang menyimpang  sepi mungkin kita bisa menyalip mobil yang didepan kita. Namun, jika sama-sama berpenghuni, jangan harap untuk bisa mendahului. Itu hanya akan membuat nyawa menjadi taruhannya.

Jurang di tepi sudah melambai untuk dijadikan alas jika hal itu terjadi. Pembatas jalan tidak ada datu meter, untuk satu kali gas saja, sudah dipastikan tidak akan bisa menahan beban mobil. Apalagi kebanyakan yang melalui jalan ini adalah kendaraan bermuatan besar.

Kisaran satu jam kita mulai menemukan rumah penduduk. Sawah atau ladang sudah menjadi pemandangan yang menyejukkan mata.

Lama sekali rasanya aku tidak melihat pemandangan seperti ini. Begitu sejuk nan damai.

Hingga mobil akhirnya berhenti pada salah satu rumah dengan halaman luas didepannya. Sebuah rumah dengan desain kuno. Namun tetap indah sebab di rawat apik oleh pemiliknya.

Kami turun dari mobil. Mbak Nadira lebih dulu jalan, dia sudah mengendong Husain di pelukannya. Tidak lama setelah itu dia sudah masuk kedalam rumah tersebut.

"Ini rumahmu, Rey?" tanyaku.

"Iya,"

"Hah! Jadi kamu ngajak aku ke rumahmu? Setiap hari kami dari gunung ke dataran untuk pergi ke kampus?!"

Aku tidak percaya.

"Dodol!"

"Auw..." Aku merintih sebab Reyhan menyentil keningku. Sakit sekali. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu. Mana pas pula di kening posisinya.

"Ini rumah yang ada disini. Cuman untuk liburan saja. Kalau yang ditempati setiap hari ya ... Ada di kotalah."

"Ow...." Aku hanya bisa ber'oh' ria. Masih setengah terheran dan tidak percaya.

Sekarang aku sadar jika Reyhan ternyata anak orang kaya. Beberapa waktu aku masih mengira jika dia masih satu level dengan mas Alshad. Akan tetapi setelah melihat ini, dia sepertinya jauh dari yang aku bayangkan. Atau perkataannya, tentang dia anak dari pengusaha sukses nomer sekian itu benar? Dia punya kendaraan mewah yang bahkan jika aku yang membelinya butuh bertahun-tahun untuk mendapatkannya. Lalu para bodyguard dan fasilitas yang sering aku dapatkan saat aku bersamanya juga, seperti resto yang pernah kita datangi hanya untuk sarapan saja.

"Hai, Ray.... Kamu lama sekali?!" Teriak seseorang dari arah pintu utama rumah tersebut.

Baru saja kami berdua melangkah untuk pergi kesana.

Aku terbelalak lagi dengan hal yang tidak pernah aku duga.

"Me-mereka ada disini?" tanyaku terbata. Sangking tidak percayanya.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang