Satu Alasan Pernikahan

13 0 0
                                    

{Andai ada cinta disitu pun ada benci. Sebab cinta menjadi akar kebencian saat cinta tidak bisa di persatukan}

Hari ini ibu dan ayah mengajakku untuk membeli kado pertunangan untuk mas Alshad dan Mbak Nadia. Sengaja aku hari ini tidak kuliah untuk menuruti kemauan mereka.

Sekitar setengah tiga kita berangkat dari rumah. Mall dia kota kami tidaklah banyak seperti di kota-kota besar. Hanya ada lima mall yang terkenal, itupun hanya satu yang selalu menjadi tujuan orang kota ini. Saat ini pun kami juga akan kesana.

Jarak tempuh tidak terlalu jauh, hanya memerlukan tiga puluh menitan untuk sampai. Jadi sekitar jam tiga kami sudah berada di mall.

Kami mengendarai mobil satu-satunya milik kami. Mobil hasil kerja dari ayah dan hingga saat ini masih di buat berangkat kerja oleh beliau. Tidak mungkin juga, kan aku membonceng mereka berdua dengan motor. Bisa kena tilang dan pastinya malu gak ketulungan.

"Mau nyari kado apa, Bu?" tanyaku.

Aku tidak tahu menahu apa yang akan orang tuaku berikan pada keponakannya tersebut.

"Lihat-lihat dulu. Pokok bermanfaat," jawab ibu.

Kami bertiga masuk ke area dalam mall aku berjalan di antara mereka berdua. Pernah satu kali aku berjalan di belakang mereka, sebab sengaja juga untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa. Tapi, malah diminta untuk jalan di depan mereka. Katanya nanti aku hilang. Aku di culik orang.

Kalau ingat hal itu aku kembali tertawa. Padahal waktu itu aku sudah lulus SMA. Aku pun bisa mengenal jalan mana di area mall tersebut. Tapi, orangtuaku masih terus menjaga dan mengkhawatirkan ku.

Barangkali, jika ada yang mengalami hal yang sama aku harap dia tidak marah-marah kepada mereka berdua. Apalagi sampai mengatakan hal yang bisa melukai hati mereka.

Sedewasa-dewasanya kita, bagi orangtua kita. Kita tetaplah anak yang selalu ingin mereka jaga. Tidak akan ada bedanya bagi mereka dengan usia kalian beberapa tahun yang lalu bahkan mungkin hingga kalian tua.

"Ayah, mau ngasih kado apa?" tanyaku sambil mendekati ke arah ayah.

"Gak tahu. Ibumu saja yang pilih. Kalau ayah yang pilih, nanti ibumu gak cocok." Jawab ayah.

"Ibu? Ayah maunya ibu yang pilihkan. Jadi, mau apa?" tanyaku lagi.

Sengaja aku menggoda mereka berdua.

"Ayahmu itu, bisanya apa?" sewot ibu.

"Loh, loh... Kok gitu? Gak boleh," balas ayah tidak terima.

Aku cekikikan sambil menutup mulutku.

"La iya? Kamu itu bisanya nurut saja. Gak bantu kasih solusi. Apa kek? Cuman ngomong terserah saja,"

"Bukannya ibu yang biasanya bilang seperti itu. Wanita, kan yang sering bilang terserah pada pertanyaan laki-laki?"

Ibu dan ayah memang begitu. Mereka kadang bertengkar dengan hal yang kecil sekalipun. Namun, salutnya meskipun begitu mereka tidak pernah mengatakan hal buruk jika ada seseorang yang menanyakan perihal salah satu dari mereka. Meskipun salah satunya saat itu tidak ada.

Pertengkaran dalam sebuah hubungan itu ibarat bumbu. Kadang sebagai penyedap, kadang juga sebagai pemanis alami. Tanpa sebuah pertengkaran, hubungan patut di curigai.

Seseorang kadang perlu bertengkar untuk mengungkapkan kesalahan. Seseorang pun menjadikan pertengkaran sebagai wujud kasih sayang. Hanya saja, memang caranya cukup menyakitkan. Tapi, nyata tetap saja menimbulkan rindu jika tidak ada.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang