Rasa Pedih

7 2 0
                                    

Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah penerimaan, namun tidak dianggap?

...
..
.

"Mas, bagaimana dengan gaun ini?" tanya Nadia.

Dia sudah berganti lima kali gaun untuk memastikan gaun mana yang ia gunakan saat resepsi nanti.

"Bagus," entah sudah berapa kali juga aku mengucapkan satu kata itu untuk jawaban atas pertanyaan.

"Kenapa sejak tadi gak merhatiin aku, sih. Capek tahu," katanya dengan cemberut.

"Aku perhatiin... Sejak tadi aku juga didepanmu kan?" tanyaku meyakinkan.

Rumitnya wanita, kami ini sudah ada tapi masih saja dianggap tidak ada kehadirannya.

Nadia melengos. Dia memperhatikan lagi pantulan dia dalam cermin.

Gaun menjuntai indah menutup tubuhnya yang ramping. Dia terlihat anggun dengan gaun berwarna violet tersebut.

Perempuan cantik itu akan menjadi istriku beberapa hari lagi. Dia sudah sah menjadi tunanganku saat ini. Ini ke, entah sudah berapa kali kamu fitting baju. Dia sangatlah perfectionis dalam acara seumur hidup kami ini.

Aku melihat layar ponselku. Aku tidak mendapatkan balasan peran lagi dari Nimas. Adik sepupuku itu semakin hari semakin hilang ditelan bumi. Atau mungkin aku yang sudah menghilangkan dirinya dari hidupku?

Semakin kesini aku semakin sibuk dengan persiapan pernikahan. Meskipun sudah meminta beberapa orang untuk mengurusnya, namun calon istriku tidak ingin melewatkan satu hal pun tanpa dia sendiri yang teliti.

Aku teringat kembali pada malam sebelum pertunangan. Aku ada di balkon rumah Nimas. Malam itu malam terakhir yang kita lewati hingga sekarang.

Malam itu aku merasakan sesak yang tidak bisa aku artikan apa. Aku merasa tubuhku tertimpa batu besar dan batu tersebut semakin membuatku tertekan.

Aku melihat butiran air mata dari kelompok mata Nimas. Namun aku tidak tahu apa yang membuat dia menahan tangisannya. Dia tersenyum, dia baik-baik saja. Hanya saja aku merasakan hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Aku ingin menanyakan, namun aku teringat bahwa aku harus mulai membatasi diriku untuk bisa melepas Nimas secara berlahan. Dia mulai dewasa, dia pun pasti akan merasakan rasa sakit untuk pendewasaannya. Dan mungkin air mata yang aku lihat malam itu salah satunya.

Beberapa orang memang harus belajar untuk mengerti dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Satu keputusan yang mungkin dianggap remeh pun bisa menjadi alasan lancar atau tidaknya masa depan kita.

"Mas?!" Seru Nadia.

Aku melihat kearahnya.

Mataku tercengang dengan sosok didepanku. Dia sangat cantik, senyum mengembang dibibirnya membuat hatiku berdegup kencang.

"Cantik..." Ucapku tanpa sadar.

"Benarkah?"

Aku mengangguk. Senyumnya pun bertambah lebar, hingga memperlihatkan gigi putihnya berjajar.

"Kalau milih ini bagaimana?" tanyanya.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang