Rekan Kerja

11 2 2
                                    

Sekuat-kuatnya wanita. Dia tidak akan bisa menahan rasa cemburunya.
.
.
.
.
.

"Paman! Paman! Paman!"

Aku tersentak mendengar panggilan yang sudah pasti itu adalah suara Husain. Dia juga ada disini? Kebetulan atau memang dia juga salah satu undangan dari mas Alshad dan Mbak Nadia.

Yang aku ketahui, hanya orang-orang terdekat saja yang diundang di acara pertunangan ini.

Aku bergegas pergi. Aku tidak ingin terlihat berada di dekat Reyhan. Itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Sebab Reyhan tidak mengetahui jika dari setengah jam tadi, sejak dia memainkan musik dari ponselnya aku berada disampingnya.

Aku bersembunyi seperti tawanan yang takut ketahuan. Pada pohon besar rindang yang tak jauh juga dari tempat Reyhan berada.

"Paman...Ayo kita kedalam, aku sudah lapar?!" Rengek Husain yang langsung menggandeng tangan Reyhan untuk bangkit dari bangku.

"Iya...iya... Ayo. Sebentar," balas Reyhan dan mengikuti langkah kecil Husain.

Mereka pergi kearah acara pertunangan itu berlangsung. Jadi benar, mereka juga salah satu tamu undangan. Lalu dari pihak mana? Hubungannya apa?

Aku pun ikut kembali ke tempat tersebut. Sebelum itu aku pergi ke toilet, membenahi riasan yang sudah pasti amburadul karena air mata. Memupuk kembali hati untuk kembali ceria.

"Itu, Nimas..."

Beberapa orang melihat kearah ku. Ibu bersama beberapa keluarga lainya menunggu kehadiranku.

Dari balik mereka semua. Yang langsung muncul adalah Mas Alshad, dia langsung berjalan cepat kearahku.

"Dari mana?" tanyanya cemas.

Aku tersenyum.

"Dari toilet."

"Lama sekali, kita khawatir!" Serunya. Di masih tidak berubah. Dia tetap mencemaskan diriku.

"Tidak apa-apa,"

Aku menengok kearah belakangnya. Mbak Nadia datang juga.

"Kamu kemana saja. Kenapa kamu tidak datang saat aku panggil tadi," protesnya

"Hehe... Maaf, mbak. Gak enak aku. Lagian aku nemenin ibu.''

"Kayak sama siapa saja kamu. Padahal tadi pengen kamu juga ikut mengantar aku sama bresmed-bresmed itu."

"Maaf... Maaf... Nanti deh, kalau pas nikahan." Kataku sambil cengengesan.

"Sudah makan?" tanya Mas Alshad.

Aku menggeleng.

"Ini mau makan, hehe"

"Makan yang banyak. Kalau gitu, kita pergi menemui tamu-tamu dulu ya?' pamit mbak Nadia.

Tangannya sudah mengapit lengan mas Alshad.

"Iya... Silahkan, monggo calon manten." Aku mempersilahkan.

"Jangan lupa makan. Jangan keluyuran. Nanti pulang sama yang lainya." Ujar mas Alshad sebelum di di gelendeng oleh mbak Nadia.

"Iya... Iya... Mas. Nimas juga sudah besar. Kayak anak kecil saja," bantah mbak Nadia sambil menepuk pelan bahu calon suaminya. Meskipun begitu dia tetap tersenyum memakluminya.

Bagaimana bisa aku menyakiti hati wanita lain. Sedang dia lebih berhak mendapatkan apa yang tidak sepantasnya aku dapatkan.

Aku tidak ingin kehilangan perhatian mas Alshad. Namun, disisi lain aku pun juga tidak bisa membuat mbak Nadia terus-menerus memaklumi sikap calon suaminya padaku.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang