30

26 8 3
                                    

Cahaya langit siang makin lama meredup digantikan malam yang gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahaya langit siang makin lama meredup digantikan malam yang gelap.
Dan ia masih berdiam diri di dalam lemari tua yang pengap.

Sambil memegangi luka di perutnya yang disebabkan oleh goresan katana, Rea masih betah bertahan di dalam lemari tua itu. Lukanya sudah ia ikat dengan kain agar pendarahannya berhenti. Meski darah sudah mengalir sampai keluar lemari. Mudah untuk dia menemukan Rea.

Di luar lemari, di atas sebuah kursi goyang yang sudah lapuk, seorang gadis sedang bersandar di sana. Sambil menggoyang-goyangkan kursi itu, tak lelah bibirnya memanggil-manggil nama Rea.

Gadis itu bisa saja membuka lemari dan menyeret Rea keluar. Atau menusukkan katananya pada lemari. Tapi tidak, ia tidak melakukan itu semua.

Menunggu Rea keluar sambil terus mengulang-ulang namanya, sesekali terdengar tawa yang mengerikan. Lebih dari cukup membuat Rea cemas, ketakutan, dan bingung harus apa. Tubuh Rea gemetar tiap namanya dipanggil oleh gadis itu. Ditambah lemari yang pengap ini, membuat nafas Rea makin tak stabil. 

Sudah lama Rea menelpon polisi, tapi sampai saat ini tak kunjung datang. Orang tua dan kakak Rea tidak ada yang bisa dihubungi. Tetangga tak ada yang Rea kenal, berteriak pun tidak ada yang dengar. Ia tadi sudah menelpon Tavisha, tapi sekarang Tavisha malah tidak bisa dihubungi. Sedangkan teman yang lain, entah kemana ketika sedang dibutuhkan. Otak Rea terasa buntu, bingung ingin meminta tolong pada siapa lagi.

Satu nama muncul di otak Rea, siapa lagi jika bukan Zefanya. Jari jemari Rea bergerak di atas keyboard, langsung mengirim banyak pesan ke kontak Zefanya yang sedang online. Bersamaan terdengar suara notif handphone lain.

"Duh, Reaa. Mau minta tolong sama Zefa, ya?" Nomernya Zefa lagi aku bajak nih, hahaha," ungkap gadis itu bersama tawanya yang mengerikan.

Rea tak kehabisan akal. Ia mencoba mengirim pesan lewat centigram, e-mali, dan akun Zefa yang lain.

"Jangan pikir kamu bisa hubungi Zefa pake akun yang lain, yaa," kata gadis itu memperingatkan.

"Karena, aku bajak juga. Ehe," tambahnya sambil menyeringai.

Rea mengacak-acak rambutnya frustasi, ia masih ingin hidup. Bila harus meninggal pun bukan karena di bunuh. Rea yang dari tadi berusaha tidak bersuara, kini terdengar isakan tangisnya. Ia pikir percuma saja ia berusaha sembunyi, gadis itu sudah tahu Rea ada di dalam lemari.

"Nangis terus aja, haha! Kamu pernah lihat kepedulianku? Gak pernah kan? Ahaha!"

"Kenapa sih, Sa!? Aku salah apa sama kamu!?" tanya Rea dengan nada tinggi.

Tiba-tiba ada yang menggebrak lemari tua itu dari luar, membuat Rea terksiap. Siapa lagi kalau bukan si pelaku.

"Manusia yang gak tau kesalahannya apa, emang pantes mati!" seru gadis itu.

"Brakk!"

Pintu lemari dibuka dengan kasar. Mata Rea membelalak dan segera memojokkan dirinya karena ketakutan. Namun sebuah tangan mencengkeram leher Rea, menariknya untuk keluar lemari.

Love DistancingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang