8

50 24 5
                                    

Hujan kembali mengguyur tanah ini dengan langit yang gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hujan kembali mengguyur tanah ini dengan langit yang gelap. Bau tanah menyeruak ke Indra penciuman. Awalnya hanya rintik-rintik air, tak lama rintik-rintik air itu makin deras. Membasahi tubuh Tavisha saat ini.

"Kamu, JAHAT! Penipu!" Umpat Tavisha.

Setelah itu Tavisha langsung pergi tak ingin mendengar apapun lagi. Matanya memerah, meski tidak mau tapi air matanya tak bisa dibendung. Bersamaan dengan turunnya hujan, air mata itu ikut membasahi pipinya.

"Ta, gimana?" Tanya Adhisti sambil menahan Tavisha agar tidak pergi.

"Ada apa sih?" Tanya Nita.

"Tata kamu kenapa?" Tanya Maya.

"Eh Visha nangis?" Tanya Vena juga.

Saat ini Tavisha hanya ingin sendiri, ia tak menjawab pertanyaan dari teman-temannya. Bibir Tavisha terdiam tak bergeming sedikit pun. Padahal giginya menggigit bibir dalam, Tavisha tidak ingin terlihat terisak di depan teman-temannya.

Meskipun Tavisha bisa menyembunyikan air matanya dengan air hujan, tapi yang lain tidak bisa ditipu. Terlihat jelas dari matanya Tavisha menangis.

"Tavisha, jadi gimana? Bilang sama kita," pinta Adhisti.

Adhisti dapat melihat mata temannya ini sangat merah begitupun dengan hidungnya. Ia yakin sekali kalau Tavisha sedang menangis. Adhisti menarik Tavisha dalam pelukannya, berusaha menenangkan tubuh Tavisha yang sedikit bergetar. Tanpa ragu Tavisha pun membalas pelukan temannya itu. Kemudian dengan suara serak ia membisikkan sesuatu di telinga Adhisti.

"Makasih b-banyak Dhis, kalo bukan karna kamu a-aku nggak bakal tau. S-selama ini aku, ditipu."

Mata Adhisti terbelalak mendengar itu, ia melepaskan Tavisha dari pelukannya. Lalu menatap temannya itu mencari kebenaran.

"Jadi berapa?"

"25"

"Terus? Putus?"

Tavisha mengangguk lemah menjawab pertanyaan itu.

"Aku mau pulang."

Kemudian tanpa mendengarkan apapun dari siapapun Tavisha langsung pergi menjauh dari semuanya. Ditengah hujan ia pergi tanpa arah, tidak ingin peduli dengan apapun. Air matanya tak berhenti mengalir bersamaan dengan air hujan. Lalu Tavisha berhenti, ia berteduh di sebuah bangunan tua yang kosong.

Gadis itu bersender di dinding, mulutnya bergeming merutuki kebodohan dirinya sendiri. Cinta yang ada berubah jadi kebencian. Tapi tidak bisa ia sangkal bahwa hatinya tak menerima ini. Hatinya sangat berat mengambil keputusan ini, tapi ia juga tidak terima.

Tavisha terduduk di lantai teras bangunan tua itu. Dadanya sedari tadi sudah sesak. Tapi kini tambah sesak dan sulit bernapas, hingga nafasnya berbunyi. Sepertinya asmanya kambuh. Ia membuka tas selempangnya mencari inhaler. Tavisha menghirup inhaler itu dan perlahan nafasnya mulai lega.

Love DistancingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang