MHIR || 14.

11.4K 513 0
                                    

Ketika Zera dan Zero baru datang ke sekolahnya. Terdengar sorakan riwuh dari arah lapangan. Keduanya saling pandang, beberapa pertanyaan memutari kepalanya, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan lingkungan sekolahnya saat ini, karena mereka baru saja sampai di halaman sekolah. Dan dihadiahi berbagai sorakan yang membuat Zera dan Zero saling pandang, pertanda kebingungan.

“Ze, gue ke kelas duluan ya.” Izin Zero mengusap kepala istrinya pelan.

Zera mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Iya duluan aja, kebetulan gue juga mau ke lapangan. Lihat deh, rame banget, ada apa ya?”

Zero mengedikkan bahunya acuh. Sekarang ia piket di kelasnya, maka dari itu Zero terburu-buru ke kelasnya karena tidak mau mendapatkan sangsi dari guru.

Tanpa menunggu jawaban dari Zero, gadis itu segera meninggalkan suaminya dan berjalan ke arah lapangan yang kini dikerumuni banyak orang. “Ehh Lis, rame banget. Ada apa?”

Lisna—teman sekelas Zera sekaligus teman lama saat SD, SMP, sampai SMA itu menoleh ke arahnya. “Ehhh, lo nggak tau ya? Heru sekolah disini loh.”

Zera terbelalak matanya kaget. “Serius?! Dari kapan? Kok gue baru tahu sekarang? Wah gila, gue mau ketemu dia sekarang. Dimana dia sekarang, Lis?”

Lisna berdecak sebal melihat Zera yang sangat bersemangat untuk menemui Heru. “Katanya dia lagi main basket. Makanya di lapangan banyak siswa-siswi yang nonton dia, gila sih. Dia beda banget sekarang. Makin ganteng, cool, dan pokonya mantep banget deh.”

Zera mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Tanpa pikir panjang, Zera langsung berlari menuju lapangan. Dan benar saja, disana para perempuan dari kelas X hingga XII berbondong-bondong meminta tanda tangan dan jepretan foto dari Heru.

Zera yang melihat itu dari bawah pohon pun mendengkus sebal. “HERU!!” teriak Zera cukup keras sehingga membuat perhatian orang-orang beralih kepadanya.

Laki-laki yang dipanggil Heru pun menoleh ke arahnya. “Ze—”

Bugh.

“Lo kenapa nggak bilang-bilang kalau mau pindah! Huaaa! Gue kangen banget sama lo, mana pagi-pagi udah olahraga kayak gini lagi. 'kan gue pangling huaa!” teriak Zera meraung-raung dengan kedua tangan yang memeluk tubuh Heru erat.

“Z-ze s-sesek!”

Mendengar suara Heru yang terbata-bata. Ia pun melepaskan pelukannya, menatap sahabat kecilnya dengan pandangan tidak suka. Yah, Heru adalah temannya sewaktu di Bandung. Waktu itu Zera pernah tinggal di Bandung bersama Lisna. Namun hanya sebentar, karena Mamahnya mengajaknya ke Jakarta dan memulai hidup baru disana.

Dan saat itulah Heru dan Zera berpisah. Meskipun begitu Heru tetap mengingat Zera, karena gadis itu adalah teman perempuan pertamanya. Ya, dulu Heru adalah anak yang tidak suka dengan yang namanya persahabatan. Tetapi setelah mengenal Zera, sikap Heru pun menjadi berubah.

“Kemarin gue udah bilang sama lo, kalau gue mau sekolah di Jakarta. Tapi lo malah matiin teleponnya, ya udah gue biarin aja sampai  besok masuk sekolah,” ucap Heru meneguk minuman yang diberikan oleh beberapa perempuan yang mendekatinya.

Zera dengan segera mengecek handphonenya. Dan benar saja, ada banyak pesan dan telepon dari Heru, namun semua notifnya tenggelam karena Zera membisukkan beberapa pesannya.

“Hehe, maaf. Semalem gue lagi nonton drakor, jadi nggak tau kalau lo nelpon gue apa kagak,” jawab Zera cengar-cengir tidak jelas membuat Heru menghela nafas panjang.

Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Zera yang seperti anak kecil, tanpa disadari olehnya ada seseorang memperhatikannya dari kejauhan dengan tangan yang terkepal kuat, menahan amarah yang kian memuncak.

“Lo lihatin siapa, Ro?” tanya Deka --- salah satu teman Zero yang menjabat sebagai wakil ketua OSIS di sekolahannya.

Laki-laki yang dipanggil 'Ro' itu menoleh ke belakang, mendapati Deka yang kini celingak-celingukkan mencari sesuatu yang sedari tadi dilihat oleh Zero.

“Nggak lihatin apa-apa, kok. Sejak kapan lo disini?” tanya Zero memasukkan kedua tangannya di saku celananya, menampilkan wajah datarnya tanpa ekspresi.

Deka menggaruk-garuk kepalanya dengan cengiran yang menyebalkannya yang membuat Zero memutar bola matanya jengah. “Barusan, gue bingung aja dari tadi lo lihatin tiang bendera terus, emang ada apa disana?”

Zero menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Ia menengok ke tempat Zera dan Heru mengobrol, tetapi sepertinya mereka sudah tidak ada disana. Zero menghela nafas lega, lelaki itu segera membalikkan badannya menghadap ke arah Deka.

“Gue nggak lihatin apa-apa. Udah yuk ke kelas, lagian ngapain kita lama-lama disini, emang mau ntar orang-orang mikir, kalau kita itu gay? Karena berduaan dibawah pohon kayak gini?”

Deka menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat dan tegas, tangan laki-laki itu memukul kepala Zero sambil berkata. “Sialan lo, gue masih normal kali. Nggak suka yang batangan.”

Keduanya tertawa terbahak-bahak hingga sampai ke kelasnya. Saat sudah berada di dalam kelas, Zero mengernyitkan dahinya menyadari Zera yang duduk bersebelahan dengan Heru dibandingkan dengannya, atau dengan Lisna yang sejak dulu sebangku dengannya.

Siapa sih tuh cowok? Lengket banget sama bini gue, batin Zero.

••••°°°°••••°°°°••••

08-08-21.

My Husband Is Ridiculous [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang