MHIR|| 32.

8.3K 339 2
                                    

Melangkah maju mundur bak setrikaan tanpa kerjaan. Kini Zera melamun, memikirkan bagaimana cara menghubungi mantan suaminya, sedangkan dirinya saja tidak memiliki nomor ponselnya.

Entah apa yang harus Zera lakukan agar Zefran berhenti mengigau, menyebut namanya.

“Mah, Om Zero ...”

Zera memejamkan matanya, bersabar. “Sayang, disini tidak ada Om Zero. Berhentilah menyebut namanya!”

Zefran menggeleng lemah, menatap wajah gelisah Zera dengan tatapan sendunya. “Aku mau main sama Om Zero, Mah!”

Rengekan yang sama kembali terulang. Mungkin jika di hitung, Zefran sudah lebih dari tujuh puluh kali menyebutkan nama yang sama. Zera hanya mampu terdiam, tanpa merespon rengekan dari anaknya.

“Kita berobat, yuk. Mamah takut kamu kenapa-kenapa,” bujuk Zera mencoba mengalihkan pembicaraan.

Zefran kembali menggeleng. “Om—.”

“Zefran. Sudahlah, Mamah muak dengar kamu terus saja merengek menginginkan laki-laki itu. Bisakah sedetik saja, kamu turuti Mamah? Om Zero bukan siapa-siapa kita. Mamah pun tidak terlalu dekat dengannya.”

Zefran menundukkan kepalanya. “Maaf ...”

Zera menghela napas panjang. Seharusnya ia lebih sabar menanggapi sikap Zefran. Akan tetapi jika sudah menyangkut perasannya, bagaimana Zera bisa menahan emosinya? Ditatapnya wajah sayu anaknya, dengan ekspresi menyesal.

“Kamu tidak salah sayang, hanya saja keinginan kamu sulit untuk Mamah kabulkan.”

Jika sudah begini Zefran hanya bisa tersenyum pasrah. Tubuhnya kembali terbaring di atas ranjang, di temani Zera yang mengusap puncak kepalanya.

“Zefran tunggu di sini dulu. Mamah mau siap-siap. Kita berobat, sekarang.”

Anak laki-laki itu hanya bisa menganggukkan kepalanya, pasrah. Tidak harus menunggu lama lagi, karena Zera hanya mengambil dompet serta tas selempang di kamar sebelahnya.

Di sepanjang perjalanan Zefran hanya diam seraya memejamkan matanya, berharap rasa pusingnya itu menghilang. Namun di tengah perjalanan tiba-tiba mobil mereka berhenti.

“Kenapa, Mah?” tanya Zefran menoleh kepada Zera yang terlihat kebingungan.

“Nggak tau. Coba Mamah cek dulu, kayaknya mobilnya mogok, deh.”

Zefran memanyunkan bibirnya, membiarkan Zera keluar dari mobil.

“Yah, pake mogok segala lagi.” Zera mengacak rambutnya frustasi.

Tind ...

Suara klakson mobil mengagetkan Zera yang sedang memeriksa mobilnya. Arah pandang wanita itu terkunci akan sosok laki-laki yang baru saja keluar dari mobil hitamnya.

Zera memicingkan matanya. “Ze—.”

“Hey, kenapa?” tanya laki-laki tersebut menurunkan kaca mata hitamnya.

Zera menggaruk-garuk tengkuk lehernya kebingungan. “I-ini eumm apa—.”

“OM ZERO!” teriak Zefran keluar dari mobil dengan balutan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya.

Zero merentangkan tangannya, menyambut sapaan Zefran yang langsung minta di gendong olehnya. Sedangkan Zera mendengkus sebal, melihat keakraban keduanya yang bisa di bilang sangat dekat.

“Om tau? Aku mencarimu di dalam mimpiku.” Lapor Zefran yang membuat Zero tersenyum lebar.

“Oh, yah?”

Zefran menganggukkan kepalanya, mengiyakan. Menceritakan segala yang ia inginkan hingga sampai detik ini. Zera hanya mampu memijit pelipisnya yang terasa pusing mendengarkan celotehan anaknya.

Berbeda dengan Zero yang teramat senang Zefran menceritakan segala keinginannya kepadanya. Sampai-sampai laki-laki itu tertawa, tanpa diketahui olehnya, bahwa mereka berdiri hampir sudah setengah jam.

“Zefran. Sudah berceritanya, kamu harus berobat. Kita cari taxi di dekat sini, yah.” Zera tidak enak hati dengan Zero yang mungkin sudah lelah mendengar curhatannya.

Zero menahan pergelangan tangan Zera yang hendak mengambil Zefran dari gendongannya. “Biar saya saja.”

Zera tertawa renyah. “Tidak-tidak, ini urusan saya. Kamu tidak berhak ikut campur.”

“Tapi Zefran menginginkanku, Ra.”

Zera terdiam, menatap Zefran yang mengalungkan tangannya di leher Zero dengan erat.

“Zef—.”

“Mamah, ayo pulang. Aku sudah sembuh, tidak perlu berobat ke dokter,” ucap Zefran membuat Zera melotot kaget.

“Hah? Bagaimana mungkin?” Zera menggelengkan kepalanya, tidak percaya.

Zefran menatap Zero yang tersenyum tipis ke arahnya. “Om. Pegang kening, Zef. Apakah masih panas?”

Atas suruhan Zefran, Zero mengikuti instruksinya. Ingin mengelak, akan tetapi Zefran mengedipkan sebelah matanya, membuat Zero merasa gemas akan tingkahnya itu.

Zera berkacak pinggang. “Ooh ... mau coba ngibulin Mamah ya kamu!”

Zefran menggeleng. “Enggak, kok. Mah. Zefran beneran sudah sembuh, iya 'kan, Om?”

Zero mengangguk ragu. “I-ya ... tapi ...”

“Yey! Ayo Om, kita pulang.” Ajakan Zefran membuat Zera menggeleng cepat.

“Zefran. Apa-apaan kamu? Mobil Mamah masih mogok.”

Zefran mengetuk-ngetukkan dagunya. Tersenyum sumringah, kala melihat mobil hitam milik Zero yang berada di belakang mobilnya.

“Itu ... Pakai mobil, Om!”

Zera melongo di buatnya. Zero tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan polos yang terlontar dari bibir mungilnya.

Let's go!”

“Mah, ayok,” bisik Zero tepat di sebelah kanan Zera.

Sialan. Zera ingin sekali menendang Zero saat ini juga. Kalau bukan karena Zefran, mungkin ia sudah kehilangan akal untuk segera memukul lelaki itu. Akan tetapi nihil, ia malah menutup wajahnya, menghilangkan rasa malu yang tiba-tiba tercetak jelas dari aura wajah kemerah-merahannya.

°•°•°•°

Bandung, 13-05-23.
Sabtu mengembu.
Instagram: dy_nana07

---


My Husband Is Ridiculous [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang