“MAMA!!” sambut Zefran di ambang pintu, kedua matanya berbinar kala melihat sosok Zera yang baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja.
“Astaghfirullah, sayang. Kamu ini, yah. Ngagetin Mamah aja,” ucap Zera mengelus-ngelus dadanya.
“Habisnya Zefran kangen Mamah, tadi juga yang jemput Zefran di sekolah, kirain Mamah. Tahunya kak Dina...” cicit Zefran menundukkan kepalanya.
Dengan gemas Zera mencubit kedua pipi anaknya halus. “Ululu sayang... Maafin Mamah ya, nak. Tadi Mamah sibuk banget di kantor, janji deh besok pulang sekolahnya di jemput Mamah, oke?”
“Oke!” seru Zefran bersemangat.
“Mamah jalan-jalan yuk!” ajak Zefran antusias.
“Jalan-jalan? 'kan udah malem sayang. Jalan-jalan nya besok aja, oke.”
Zefran menggelengkan kepalanya. “Besok sekolah, Mah.”
“Tapi ini sudah malam sayang, toko-toko mainan pun mungkin sudah tutup.”
Zefran menatap Zera sayu. Keduanya berlinang air mata memandakan sebentar lagi ia akan menangis. Melihat hal itu Zera mulai resah dan gelisah.
“Zefran sayang. 'kan Mamah nya baru pulang. Mau sama kakak aja mainnya? Ayo,” ucap Dina yang berada di belakang tubuh Zera.
Zefran menundukkan kepalanya, menangis dalam diam. “Ndak mau... Maunya sama Mamah!”
Zera menghela napas lelah. Tangan kanan Zera menepuk pundak Dina yang hendak menasehati anaknya. “Gue keluar sebentar ya, Din.”
“Tapi lo baru aja pulang kerja, Ra. Masa mau pergi lagi sih? Nggak cape apa?”
Zera tersenyum tipis. “Cape gue hilang setelah lihat Zefran.”
“Udah ah, gue sama Zefran mau jalan-jalan dulu, bye!”
Dina memutar bola matanya malas. Ia menganggukkan kepalanya, seraya menatap kepergian keduanya dengan tatapan sendu. Ia cukup terharu dengan Zera yang selalu mementingkan kebahagiaan anaknya ketimbang memikirkan badannya yang sudah lelah bekerja.
“Gue tau lo cape, Ra. Tapi karena Zefran, rasa cape yang lo rasain sengaja nggak lo rasa saat ini,” gumam Dina salut akan kemandirian sikap Zera.
Di situasi lain Zera dengan senang hati membelikan anaknya banyak permainan. Dari mulai mobil-mobilan, pesawat mainan bahkan aksesoris lainnya.
“Pulang yuk, Nak. Mamah udah ngantuk,” ucap Zera berjongkok di hadapan Zefran yang tengah asik memainkan mobil remote nya.
“Zefran belum puas mainnya, Mah!” jawab Zefran tanpa menoleh ke arah Zera.
Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal. Hendak memarahi Zefran, akan tetapi tenaganya sudah tidak sanggup untuk mengomeli anaknya.
Zera pun pasrah. Ia duduk di kursi taman sambil menonton Zefran yang memakan mobil barunya. Tanpa sadar ia pun menutup matanya, bersandar ke belakang kursi taman.
Merasa bosan. Akhirnya Zefran pun menyudahi permainannya.
“Mah, Mamah!” panggil Zefran menggoyang-goyangkan kaki Zera yang terlelap, ketiduran.
“Mah—.”
“Hey, kamu kenapa?” tanya seorang pria yang berada di belakang tubuh Zefran.
Bocah laki-laki yang belum genap memasuki umur 6 tahun itu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, polos.
“Ini Om, Mamah susah di bangunin. Padahal tadi ngajak pulang, tapi malah tidur.” Lapor Zefran melipat kedua tangannya di depan dada.
Pria tersebut tersenyum mendengar celotehan Zefran yang kesal akan Zera yang tidak kunjung bangun dari tidurnya.
“Om siapa?” tanya Zefran menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Zeronal Firmansyah Pradipta,” ucap Zero tersenyum tipis.
“Zefran Azreo Nandeleo. Salam kenal, Om,” ucapnya mengulurkan tangan mungilnya di hadapan Zero.
Zero tertawa melihat keberanian Zefran saat berkenalan dengan orang asing seperti dirinya. Zero berjongkok di hadapan Zefran seraya membalas jabatan tangannya. “Salam kenal juga, Boy.”
Terlihat menggemaskan saat Zefran menganggukkan kepalanya mengiyakan. Sesaat Zero teringat akan Zera yang masih tertidur.
Melihat wajah Zefran yang mulai menggigil akibat angin malam membuatnya tidak tega. Zero melepaskan jaketnya, menyelimuti tubuh Zefran.
“Ehh...”
Tangannya kini mengecek suhu tubuh Zefran. “Kamu gapapa?”
Zefran menggeleng. “Nggak papa, Om.”
Zero mengangguk. Beralih kepada Zera yang masih menutup matanya dengan damai. Dalam hatinya Zero ingin sekali memeluk tubuh Zera yang terlihat kedinginan. Namun ia tahu batasannya, ia sudah tidak ada ikatan lagi selain mantan suami-istri.
“Ze ... bangun, Ze ...” bisik Zero dengan ragu.
Tidak ada respon apapun. Zefran yang melihatnya pun menundukkan kepalanya. “Mamah kecapean kayaknya, soalnya habis pulang kerja, Zefran langsung ajak main.”
Mendapat jawaban jujur dari sang anak membuat Zero tersadar akan keraguannya saat ini. Pria itu tersenyum tipis, mengusap kepala Zefran penuh kasih sayang.
“Sudah malam. Om anterin kalian pulang, yah.”
Zefran mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Beneran Om?”
“Beneran dong, tapi kamu jangan berisik yah. Soalnya Om mau gendong Mamah kamu sampe mobil Om.”
Zefran menaikan satu jempolnya ke atas, memberi isyarat 'Oke'.
Dengan teramat hati-hati Zero mengangkat tubuh Zera menuju parkiran. Beruntung taman bermain yang mereka tempati mulai sepi pengunjung, membuat senyuman Zero terukir jelas di sudut bibirnya.
Ketika ketiganya sudah berada di mobil. Zero merapihkan rambut Zera yang tampak berantakan, tanpa sengaja ia pun melihat kerutan kekhwatiran dari wajah pucatnya itu.
Zera kelihatan banget capek nya, batin Zero berkata demikian.
“Om kok lihatin Mamah kayak gitu?” celetuk Zefran membuyarkan lamunan Zero.
Seakan terciduk oleh saksi mata. Kini Zero menatap Zefran gelagapan, antara panik dan tidak tahu harus bersikap bagaimana.
“Ah iya, maaf. Tadi Om benerin rambut Mamah kamu, tadi ada daun nyangkut,” ucapnya berbohong.
Zefran memicingkan matanya selidik. Tidak mau mengambil pusing, akhirnya Zefran melihat ke luar jendela saat mobil yang di tumpanginya sudah mulai berjalan membelah jalanan yang cukup sepi pengendara.
•°•°•°•
Bandung, 27-04-23.
Kamis manis
Instagram: dy_nana07--
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Ridiculous [SELESAI]
RomanceDijodohin sama tetangga sendiri? Dijodohin sama musuh sendiri? Dijodohin saat masih dalam kandungan? Bisa kalian bayangkan, bagaimana nasib Zera yang harus menikah dengan musuhnya sendiri yang bernama Zero - lelaki konyol yang pernah Zera temui di d...