Zefran sudah terlelap karena lelah bermain bersama Zero di kamarnya. Sedangkan Zera sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang untuk mereka bertiga.
Tanpa di ketahui olehnya Zero memperhatikannya dari kejauhan. Laki-laki itu mendekat ke arah Zera, melihat apa saja yang di masak oleh wanita tersebut.
"Eummm wanginya enak banget, masak apaan sih?" tanya Zero menghirup aroma sup ayam yang berada di dalam panci.
"Sayur sup. Untuk Zefran, dan ini." Tunjuk Zera kepada nampan yang berisikan goreng ayam. "Untuk kita."
"Mengapa berbeda?" tanya Zero menaikan satu alisnya, kebingungan.
"Zefran sedang sakit. Makanya aku tidak memasukkan bumbu lada kedalamnya." Zera menjawab dengan nada jutek.
Keduanya pun akhirnya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Zero yang tengah mengotak-atik layar handphonenya, dan Zera yang sibuk membaca, memilih menu masakan yang cocok untuk mereka santap siang ini.
Diliriknya tubuh Zera dari belakang. Entah mengapa, sepertinya Zera mempunyai daya tarik tersendiri, hingga membuat kedua bola mata Zero tertuju, hanya padanya.
Pandangan matanya sulit untuk dikendalikan hingga ia terus menatap Zera tanpa berkedip sekalipun. Ingin menghindar, akan tetapi kakinya sulit untuk di gerakkan. Ah, ini terlalu rumit untuk di jelaskan.
"Zera!" panggil Zero memberanikan diri.
Zera yang mendengar panggilan tersebut pun menoleh, menatap Zero. "Ya, kenapa?"
Gelisah, takut, dan bimbang bercampur menjadi satu. Zero bangkit dari duduknya, mendekati Zera yang masih sibuk berkutat dengan alat-alat masaknya.
"Aku ingin bertanya," ucap Zero mati-matian membuang rasa egoisnya.
Zera menghentikan aktivitas memasaknya. Menoleh ke arah Zero, mencoba fokus. "Bertanya? Tentang apa?"
Dengan ragu Zero menjawab. "T-tentang kita."
Zera terdiam lama. Ia pun beringsut menjauh, menggeleng-gelengkan kepalanya tegas. "Tidak ada yang perlu di bahas lagi, jika semua itu menyangkut hubungan kita di masa lalu."
Zero melangkah, mendekati Zera. Meraih kedua pergelangan mantan istrinya dengan sorot mata yang berkaca-kaca. Pecundang! Itulah yang kini berada di pikiran Zero.
Demi Zera ia mampu menjadi sosok yang rapuh. Contohnya seperti sekarang, menangis tanpa suara di hadapan seorang wanita.
"Ra, aku minta maaf."
"Basi!" balas Zera ketus.
Zero menghela napas panjang. "Terserah kamu mau bilang apa. Yang jelas tidak ada lagi yang bisa menggantikan posisi kamu dariku. Ra, sejauh apapun kamu menyembunyikan kebohongan. Semuanya akan terbongkar."
Zera membuang wajahnya ke arah lain. Tidak mau melihat wajah Zero yang terlihat tak berdaya di hadapannya. "Nggak usah sok bijak."
"Aku nggak bijak. Tapi aku punya tekad. Ra, izinkan aku untuk memperbaiki semuanya. Aku tau bertahun-tahun lamanya kamu sudah mengetahui kasus antara aku dan Naila. Berhenti bersembunyi, Ra! Usaha kamu hanya memperkeruh kehidupan yang sedang kamu jalani saat ini."
Zera menundukkan kepalanya. Tidak sanggup menjawab setiap kata penekanan, yang terlontar dari bibir mantan suaminya.
"Zefran butuh aku, Ra. Zefran butuh kita. Dia butuh sosok ayah di dalam kehidupannya."
Zera meneteskan air matanya, tidak sanggup untuk dibohongi, jika hatinya benar-benar terluka mendengar nasehat Zero saat ini.
Tak kuasa menahan tangis, Zera ambruk di pelukan hangat mantan suaminya. "Apa aku egois?"
Zera mengangguk, mengiyakan. "Kamu terlalu mengikuti kata ego dibandingkan dengan hatimu. Ra ... Kita bisa memperbaikinya dari sekarang. Aku tidak bisa berjanji, tapi aku yakin bisa menjalaninya. Dengan izin Tuhan serta keridhoan darimu, Ra. Tolong, sekali saja. Beri aku kesempatan kedua."
Zera mendongakkan kepalanya, menatap manik mata Zero. Ada rasa iba serta ketulusan yang mendalam dari sorot mata teduhnya.
Tangan kekar Zero terangkat, menghapus jejak air mata yang mengalir di area pipi mulusnya. "Ra. Aku mau minta rujuk sama kamu."
Deg.
Jantung Zera berdetak tak karuan. Ingin rasanya Zera menghilang saat itu juga, karena saking senangnya Zero mengatakan hal itu kepadanya. Namun sialnya, mengingat kejadian beberapa tahun silam membuatnya hilang arah.
"Aku nggak bisa ..."
Zero tersenyum kecut. Melepaskan pelukannya, seraya memandang Zera penuh kekecewaan. "Oke, nggak papa... Ra."
"Tapi boleh 'kan, aku rawat Zefran sampai dia sembuh. Tenang saja, lusa aku akan pulang ke Indonesia."
Tatapan Zera berubah murung. Bukan tidak rela untuk Zero merawat Zefran. Akan tetapi ia sedikit kecewa, saat Zero mengatakan, ia akan pulang ke Indonesia. Itu artinya ia hanya mempunyai waktu satu atau dua hari untuk berada di Prancis.
"Ra ..."
Lamunan Zera buyar, kala tangan Zero melambai-lambai, tepat di permukaan wajahnya.
"Kok ngelamun?"
Zera menggeleng. "E-enggak, kok."
"Jadi gimana?" tanya Zero menunggu kepastian.
"Hah. Gimana? Gimana apanya?" tanya Zera kebingungan.
Zero tersenyum tipis. Sepertinya Zera tidak terlalu fokus mendengarkan permintaannya. "Untuk merawat anakku."
Zera menatap Zero tidak suka. "Anakku. Bukan anakmu!"
"Ya, anak kita."
"Euh-."
"OM ZERO! OM ZERO, PAPAHKU?!"
Deg.
"Zefran!" pekik keduanya bersamaan.
Keduanya melotot kaget. Zefran menuruni tangga terburu-buru, memeluk kaki jenjang Zero yang kini gemetaran setelah terciduk basah oleh sang anak.
Sedangkan Zera menutup wajahnya mengunakan kedua telapak tangannya, seraya memaki percakapannya beberapa detik sebelumnya.
Mati aku, mati! Batin Zera mencaci-maki dirinya sendiri.
°•°•°•°
Bandung, 14 Mei 2023.
Dy_Nana07👇
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Ridiculous [SELESAI]
RomanceDijodohin sama tetangga sendiri? Dijodohin sama musuh sendiri? Dijodohin saat masih dalam kandungan? Bisa kalian bayangkan, bagaimana nasib Zera yang harus menikah dengan musuhnya sendiri yang bernama Zero - lelaki konyol yang pernah Zera temui di d...