Zera menghela napasnya panjang. Mencoba mengumpulkan niat untuk bertemu dengan Zero dipengadilan. Hari ini adalah hari terakhirnya tinggal di Indonesia. Setalah itu ia akan pergi ke Paris untuk melanjutkan kehidupan barunya.
Tetesan demi tetesan air mata mengalir begitu derasnya. Ia tidak henti-hentinya menangis sampai matanya membengkak. Mungkin Zero pun begitu, tetapi ia tidak peduli dengan lelaki itu.
Kakinya melangkah menuju kursi yang berada di depan. Bersamaan dengannya, Zero pun datang dengan sepucuk surat kecil yang berada di genggaman tangannya.
Kilatan mata Zero mengandung kepedihan yang mendalam. Namun Zera yakin. Tatapan itu, adalah tatapan ketegaran dalam dirinya.
“Aku tidak menyangka akhirnya akan begini, Ra.” Zero tersenyum kecut mendengar suaranya yang lemah. Saat ini ia begitu rapuh di hadapan Zera.
Semalaman ia tidak tidur karena terus-menerus memikirkan Zera. Bahkan sangat bimbang entah mengiyakan atau menolak perceraian tidak terduga ini. Namun setelah melihat beberapa media telah mempublikasikan hubungan hancur mereka. Keduanya pun sepakat untuk mengakhiri semuanya.
Seorang hakim sudah berada di hadapannya. Tanpa menunggu waktu lama lagi, gugatan cerai itupun terlaksana walau keduanya sama-sama menyimpan rasa.
Beberapa ketukan sudah diketuk oleh hakim dan keduanya sudah resmi berpisah. Ketika semuanya selesai Zero menahan tangan Zera yang akan melangkahkan kakinya, keluar.
“Ra!”
Zera menepis tangan Zero secara kasar. “Apa?!” sentaknya tanpa menoleh ke arah samping.
Lagi dan lagi Zero tersenyum tipis. “Nih, buat kamu.”
Kedua alis Zera menyatu. Ia bingung dengan Zero yang tiba-tiba memberikannya sebuah surat kecil bergambar love. “Ini? Untuk apa?”
“Hanya sebuah kenang-kenangan. Meskipun kita sudah berpisah, tapi hati ini tetap sama. Aku mencintaimu, Ra. Sampai kapanpun itu, aku mencintaimu,” ucapnya dengan percaya diri.
Zera membuang wajahnya ke arah lain. Tanpa berpamitan, ia segera pergi dari hadapan Zero. Bersiap-siap untuk keberangkatannya ke Paris bersama Dina hari ini.
Zero mengepalkan tangannya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau langkah ini adalah jalan kebenarannya menjadi seseorang yang lebih baik dari masa lalunya.
Biarkan masalah yang sekarang menjadi kenangan pribadinya. Ia akan memulai kehidupannya yang baru. Tanpa Zera yang selalu menguatkan dirinya, ia akan berusaha mengiklaskan semuanya.
“Hari ini, menit ini, dan detik ini juga. Gue sendiri, akan mengawali semuanya dari nol,” ucap Zero tersenyum tipis. Lalu meninggalkan tempat pengadilan tersebut dengan hati yang penuh luka.
Perceraian, perpisahan, penderitaan sudah ia lalui bersama istrinya. Zera, nama itu tetap akan melekat di dalam hatinya walau Tuhan berkehendak lain. Begitupun dengan Zera, ia akan selalu mengenang nama Zero walau dalam hatinya terbesit rasa benci yang mendalam.
****
Dina dan Zera sudah berada di dalam pesawat setengah jam yang lalu, tetapi Zera masih memikirkan Zero yang bilang ia masih mencintainya, namun ia juga setuju untuk bercerai dengannya.
Semuanya terasa membingungkan, Zera merasa perceraian tidak ada artinya lagi untuknya. Zera juga merasa kaget saat mengetahui Zero biasa-biasa saja saat menggugat cerai dengannya.
“Ze, lo kok ngelamun mulu. Gimana tadi sidangnya, lancar? Maaf gue nggak dateng ke pengadilan. Gue pamit sama nenek gue tadi pagi.”
Zera mengerjap-ngerjapkan matanya. “Hah... Gue nggak kenapa-kenapa, kok. Ehh iya, Tante Saena sama Om Nicol udah tau kan kita akan ke Paris sekarang?”
Dina mengangguk pelan. “Udahlah, ya kali belum tau, orang gue kabarin Mamah sama Papah minggu lalu.”
Zera tersenyum tipis menanggapi jawaban Dina. Setelahnya mereka sama-sama terdiam, bergelut dengan pikirannya masing-masing.
Beberapa jam berlalu begitu cepat, pesawat yang ditumpangi oleh Zera dan Dina pun sudah terbang dengan membawa luka, derita, hingga derai air mata yang kini masih dipertahankan oleh Zera.
“Ra. Tadi pagi pas lo berangkat ke pengadilan, lo sempet sarapan nggak?” tanya Dina sedikit khawatir melihat wajah Zera yang sedikit pucat, antara kecapean dan kesedihan.
Zera menggeleng-gelengkan kepalanya, lesu. “Mana sempet gue sarapan, Na. Datang ke pengadilan aja gue buru-buru.”
“Astaga Zera! Kenapa nggak ngomong sih sama gue? Kalau lo kenapa-kenapa gimana? Terus dede bayi yang ada di perut lo gimana? Mikir dong, Ra. Lo sama aja ngebunuh anak lo dengan cara perlahan!” Omel Dina tidak habis pikir dengan Zera yang selalu melupakan sarapannya.
“Ya gimana lagi, gue 'kan lupa.”
“Lupa lo kebangetan, Ra.” Dina mengambil sebuah roti yang berada di dalam tas kebesarannya. Memberikan roti tersebut kepada Zera.
“Tapi gue belum mau makan, nanti aja deh,” ucap Zera merasa malas melihat makanan yang baru saja Dina keluarkan dari dalam tas hitam miliknya.
Dina menatap Zera sesaat. “Lo harus makan, bukan demi diri lo sendiri. Tapi demi janin yang ada di perut lo. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa. Meskipun itu anak lo, tapi gue juga anggap dia separuh jiwa gue. Lo dan anak lo sama, Ra. Kalian segalanya buat gue.”
Mendengar penuturan kata dari Dina membuat Zera menundukkan kepalanya, dengan perlahan ia memakan roti itu dengan pelan. Dina yang melihatnya pun merasa gemas, bahkan senyuman tipis pun mulai muncul di sudut bibirnya.
“Thanks ya, Na. Lo emang sahabat sekaligus sodara gue yang paling baik di dunia ini. Gue beruntung banget punya sahabat kayak lo,” ucap Zera memeluk Dina dari samping.
Dina mengusap punggung Zera pelan. Kemudian ia pun menjawab. “Bukan gue yang baik, tapi kita. Kita sama-sama mempunyai impian yang sama. Dan mungkin, cerita hidup kita juga sama namun dengan alur yang berbeda. Gue akan selalu ada di samping lo setiap saat. Entah itu suka maupun duka.”
Keduanya sama-sama berpelukan di dalam pesawat. Hingga selang beberapa menit mereka melepaskan pelukannya, dan berniat beristirahat di dalam pesawat.
°•°•°•
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Ridiculous [SELESAI]
RomanceDijodohin sama tetangga sendiri? Dijodohin sama musuh sendiri? Dijodohin saat masih dalam kandungan? Bisa kalian bayangkan, bagaimana nasib Zera yang harus menikah dengan musuhnya sendiri yang bernama Zero - lelaki konyol yang pernah Zera temui di d...