MHIR || 19.

9.9K 415 0
                                    

Sania dan Zera membuat kue di dapur sambil mengobrol serta bercanda gurau, sedangkan di ruang tamu Zero dan Heru hanya saling cuek satu sama lain. Bahkan sedari tadi mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Membuat suasana rumah Heru tiba-tiba hening bak kuburan malam.

Zera yang tidak mendengar apapun dari arah ruang tamu pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memfokuskan tujuannya dengan adonan kue yang berada di hadapannya.

“Aku suka dengan kebiasaan Tante, sedari dulu. Tante menyibukkan diri dengan adonan kue dan alat dapur,” ucap Zera membuka percakapannya kembali.

Sania tersenyum manis. “Itu hobi Tante sejak jaman mengandung Heru. Tante senang sekali jika membuat kue banyak-banyak. Hal itu mengingatkan Tante dilamar oleh Papahnya Heru dengan bolu kukus dan bunga yang terbuat dari kue cake.”

Zera ikut tersenyum. Ternyata dari masa muda pun Sania sudah menyukai berbagai kue. Pantas saja sampai kini, wanita paruh baya itu tidak lepas dengan yang namanya kue.

Sania menatap Zera dari samping, gadis itu terlihat sedikit dewasa dan lebih cantik dari yang Sania temui tahun lalu. “Tante juga senang dengan kamu. Tante senang adanya kamu bermain disini, sering-sering bermain kesini ya. Nanti Tante buatkan kue yang enak untuk kamu.”

Zera tampak terdiam dengan ucapan Sania. Rasanya ia ingin menolak karena statusnya saat ini adalah istri dari Zero. Kehidupannya sekarang bergantung pada lelaki itu.jadi, Zera tidak bisa seenaknya main ke rumah Heru tanpa izin darinya.

“Hmm kalau tidak ada kesibukan sekolah atau pekerjaan luar, Zera pasti main kesini, kok. Tapi mungkin nggak bakalan tiap hari, karena tugas sekolah lagi numpuk banget Tante,” jawab Zera mencari-cari alasan.

Sania menganggukkan kepalanya. Mengerti apa yang Zera maksud. “Oh begitu, iya tidak apa. Dengan adanya kamu sekarang, Tante sudah bahagia. Apalagi kalau kamu dengan Heru berjodoh. Tante akan sangat-sangat bahagia.”

Zera merasa tegang mendengar ucapan Sania. Ia tidak membalas ucapannya, Zera hanya tersenyum dengan hati yang gusar.

Bagaimana mau berjodoh. Orang akunya aja udah jadi istri orang. Batin Zera.

Selesai membuat kue mereka menyajikannya di ruang tamu. Khususnya untuk kedua laki-laki yang sedari tadi diam-diaman.

“Nak Zero, ayo makan kue nya. Ini bikinan Tante sama Zera loh, ayok cobain,” ucap Sania menawarkan kue bikinannya kepada Zero.

Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya. Menyicipi kue bikinan istrinya dan Sania, setelah kue itu sudah masuk ke dalam mulutnya, Zero tersenyum bangga. Ternyata Zera bisa masak kue seenak ini. Mungkin Sania yang mengajarkannya di dapur sejak tadi.

“Enak Tante,” Puji Zero memasukan kue yang kedua kalinya ke dalam mulutnya.

Sania tersenyum senang. “Ini juga buatan Zera. Kamu juga harus berterimakasih kepada dia.”

Zera tersenyum malu-malu. Zero yang  duduk bersebelahan dengan Zera pun ikut tersenyum kikuk. Ia mencondongkan tubuhnya ke samping, sambil berbisik.

“Emmm enak sekali istriku,” bisiknya amat pelan. Sampai-sampai Sania dan Heru pun tidak bisa mendengarkan bisikannya. Terkecuali Zera yang kini senyam-senyum tidak jelas.

“Udah sore. Sebaiknya kita pulang, Tan, Ru. Gue sama Zera pamit pulang dulu ya. Makasih kue nya, enak banget,” ucap Zero menatap Heru dengan senyuman palsunya.

“Owalah iya-iya, hati-hati di jalan ya. Ehh Zera, nggak mau di antar sama Heru?” tanya Sania kepada Zera yang memakai tas ranselnya.

Zera menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak Tan, Zera sama Zero aja. Kebetulan rumah kita se arah. Iya 'kan Ro?”

Zero menganggukkan kepalanya. Lalu mereka menyalami tangan Sania. Tetapi tidak dengan Heru yang sedari tadi hanya diam tidak mengeluarkan suara.

Setelah keduanya keluar dari rumah Heru, laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya, membuat Sania kebingungan. “Loh Heru, kamu nggak nganterin mereka sampe luar?”

“Males Mah!” jawab Heru dari dalam kamar.

Sania menggeleng-gelengkan kepalanya. Bergegas kembali ke dapur untuk membersihkan alat-alat masak yang tadi sempat tertunda.

Sedangkan diperjalanan Zera dan Zero tertawa dengan keindahan sore hari seperti ini. Niat mereka pulang mereka urungkan, mereka ingin menghabiskan waktu bersama.

Setelah makan di restoran. Mereka pergi mengunjungi pantai di dekat perumahan miliknya. Udara saat ini sangat dingin membuat Zera kedinginan dengan angin yang menerpa tubuhnya.

“Mataharinya sudah hampir tenggelam. Kamu nggak mau pulang? Udaranya dingin loh,” ucap Zero merangkul pundak Zera memberinya kehangatan.

Mereka berdua duduk di atas batu besar yang berada di pantai. Melihat bagaimana matahari tenggelam di kegelapan sore menuju malam.

Zera menyandarkan kepalanya di dada bidang Zero, sambil bergumam. “Aku mau kita tetap seperti ini Ro, dan aku berharap kita akan selamanya seperti ini. Aku sayang kamu.”

Zero mengusap kepala istrinya lembut. Mencium kepalanya dengan rasa cinta yang mendalam. “Aku pastikan kita akan tetap bersama.”

Zera tersenyum. Menggenggam tangan kekar Zero, lalu meletakkannya di pipinya. “Kelulusan sekolah sebentar lagi akan tiba. Kamu mau nerusin bisnis Papah? Berarti kamu akan berkuliah di Amerika. Dan kamu akan ninggalin aku.”

“Suttt, aku nggak akan kemana-mana. Lagian kalaupun iya, aku disana untuk belajar. Menuntaskan pendidikanku, bukan untuk mencari wanita lain. Kamu jangan khawatir,” ucap Zero meyakinkan.

Zera meneteskan air matanya. Ia takut kalau Zero akan meninggalkannya setelah mereka lulus SMA nanti. “Kamu janji 'kan sama aku? Kamu nggak akan kemana-mana. Dan di Amerika nanti kamu hanya kuliah, jangan berhubungan dengan wanita lain.”

Zero tersenyum mendengar suara Zera yang bergetar. Ia tahu kalau istrinya sedang menangis, Zero menangkup wajah istrinya mencium wajahnya bertubi-tubi. Dan terakhir mencium bibirnya lama.

Zero menghapus jejak air mata istrinya. Meletakkan kepalanya di depan wajah Zera. Ia berbicara berhadap-hadapan dengan wajah yang saling berdekatan.

“Jangan nangis hey, kelulusan masih tiga atau dua bulanan. Kita masih banyak waktu untuk bersama-sama. Aku di Amerika berkuliah dengan Papah disampingku. Mana mungkin aku akan melupakan dirimu, Ze. Kamu segalanya bagiku. Ingat itu.”

Mendengar ketegasan Zero. Hati Zera sedikit tersentuh. Ia berharap Zero akan memegang ucapannya dengan tulus. Dan Zera berharap Zero laki-laki yang bertanggung jawab, saat ini dan kemudian hari.

Aku berharap kamu selalu berada di sampingku, Ro.

°°°•••°°°•••°°°•••

My Husband Is Ridiculous [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang