Keadaan sekolah saat ini sedang ricuh karena di adakan pertandingan basket antar kelas. Siswa maupun siswi berbondong-bondong berlarian keluar kelasnya menuju lapangan yang tidak jauh dari kelas XII IPA 2.
“Pertandingannya emang hari ini ya? Bukannya besok lusa?” tanya Dina teman sebangku Zera yang melihat semua teman-temannya keluar kelas.
Zera menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak tahu. “Mungkin acaranya di majuin, 'kan sebentar lagi ujian semester. Masa iya pas ujian di adakan acara pertandingan kayak gini.”
Dina menganggukkan kepalanya, membenarkan ucapan Zera. “Bener juga ya Ze, ya udah. Ayo keluar, terus lihat mereka tanding.”
Zera menganggukkan kepalanya, lalu mengikuti langkah Dina yang menariknya keluar kelas. Berlari ke arah lapangan dan duduk di jajaran para penonton.
Zera dapat melihat Zero yang melambaikan tangannya ke arahnya. Zera tersenyum malu-malu. Dina yang melihat itupun berdehem lalu menyenggol lengannya.
“Cie-cie yang dulunya main musuh-musuhan sekarang cinta-cintaan awh.” Sindir Dina membuat Zera mengerucutkan bibirnya malas.
“Apaan sih Din.”
Ketika Dina sibuk mengerjai Zera. Tiba-tiba Heru datang ke arah Zera berbarengan dengan Zero di belakanganya.
“Ze, gue butuh support dari lo. Support gue dong!” seru Heru yang membuat Dina dan Zera mengalihkan pandangannya.
Zero yang berada di belakang Zero menyilangkan tangannya, memperingati istrinya agar tidak mendukung Heru yang kini menjadi lawannya.
Zera menggaruk-garuk kepalanya. “G-gue—.”
“Aduduh Heru, Zera pasti support Zero dong. Selain dia mewakili kelas kita, Zero juga 'kan pacarnya Zera. Iya 'kan Ze?”
Zera mencubit lengan Dina. Dasar temannya itu, tidak tahu apa Zera sekarang tengah bingung. “Mmm nggak kok, aku nggak pacaran sama Zero. Tapi kalau soal ngedukung pertandingan. Aku dukung Zero. Maaf ya Ru, gue takutnya kalau gue dukung lo, entar gue kena marah lagi sama temen sekelas.”
Haru mendengkus kesal. Ia menatap Zero sinis, tetapi tidak dengan Zera. Ia tersenyum paksa, menganggukkan kepalanya, memahami.
Tidak lama pertandingan pun dimulai dengan sengitnya. Semua para penonton berbondong-bondong, mengelilingi lapangan. Zero melambaikan tangannya ke atas, mengedipkan sebelah matanya ke arah Zera, membuat gadis itu tersenyum malu-malu.
“ZERO! ZERO!” teriak seorang Gadis centil yang berada di ujung lapangan, teramat melengking dan mampu membuat Zera menoleh ke arahnya.
Babak demi babak telah dimenangkan Zero membuat semua penonton bersorak ricuh. Heru mengepalkan tangannya, pertanda tidak terima atas kemenangan yang Zero raih.
Ketika bola basket itu mendekat ke arahnya, dengan cepat Heru menangkapnya. Membawanya ke arah Zero seraya berbisik. “Hari ini boleh aja lo menang, tapi lihat aja nanti, gue nggak akan biarin lo menang dalam bentuk apapun.”
“Tapi nyatanya, gue yang selalu menang dalam bentuk apapun itu, termasuk menangis hatinya Zera,” balas Zero merebut bola basket yang berada di tangan Heru, lalu melemparkannya memasuki ring.
“HUUHH!!”
Sialan! Umpat Heru dalam hati.
Pritt ...
Permainan pun berakhir. Dan sesuai ekspektasi, kini Zero memenangkan pertandingannya. Semua teman-teman sekelasnya langsung berlarian ke arah Zero, memberikan selamat, dukungan, serta semangat tanpa henti.
Zera tersenyum seraya mengulurkan tangannya. “Wihhh menang lagi, selamat ya.”
Zero merangkul Zera seraya berkata. “Disemangati ayang, ya kali kagak menang.”
Peletak.
Zera menggeplak kepala Zero seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ayang-ayang matamu kuyang, gue nyemangatin semua temen-temen kelas gue kali, jangan kegeeran deh.”
Zero mendengkus kesal. “Nggak mau ngaku nih, padahal dalam hatinya cuma neriakin nama aku tuh.”
Zera melepas rangkulan zero dengan paksa. “Terserah.”
“Gitu yah cewek mah, kalau nggak mau disalahin teh, bilangnya terserah mulu,” celetuk Sean, teman sekelasnya.
Zera mengedikkan bahunya acuh, tidak mau membalas komentaran dari Sean. Zero yang baru saja ingin berbicara pun, terpotong akibat seorang gadis yang baru saja mendatanginya.
“Hay Ro, sumpah kamu keren banget. Aku bangga deh punya cowok kayak kamu,” ucapnya tersenyum kecentilan.
Semua orang yang berada disana mengernyitkan dahinya heran, begitupun dengan Zera yang terdiam kaku. Tetapi beda hal nya dengan Zero yang kini tertawa renyah.
“Hah! Cowok? Mimpi lo, gue bukan cowok lo,” ketus Zero membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya, kesal.
“Ihh kok kamu ngomongna gitu sih? Kamu 'kan emang cowok aku,” ucapnya tidak terima.
Zero menghela napas panjang. Mengingat-ingat siapa gadis yang berada di hadapannya sekarang ini, lama terdiam akhirnya Zero pun melotot. “Lo Naila? Mantan gue?”
“Iya,” jawabnya sumringah. Namun detik kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kok mantan sih? Pacar kamu lah.”
“Najis, gue udah putusin lo dua bulan yang lalu,” ketus Zero membuat Naila tercekat kaget.
“Iya kamu emang ngomong putus, tapi aku nggak mau,” ucap Naila meraih tangan Zero.
Namun belum sempat Naila bersentuhan dengan tangannya, Zero lebih dulu menghindar ke arah Zera. “Dih mau ngapain sih lo.”
“Mau kasih selamat buat kamu, Zero ihh! Jangan dekat-dekat Zera dong, aku nggak suka,” rengek Naila membuat semua orang merasa jijik akan kelakuannya, yang terlalu lebai.
“Bodo amat!” sarkas Zero menarik tangan Zera, dan berlari meninggalkan lapangan.
Naila yang mendapat perlakuan seperti itu pun mendengkus kesal, sedangkan orang-orang yang melihat tertawa mengejek, Naila menghentak-hentakan kakinya, pergi meninggalkan lapangan dengan rasa kesal bercampur api kemarahan.
Zero kenapa sih makin lengket sama Zera? Pokoknya gue nggak suka, Zero milik gue. Dan apapun yang udah jadi milik gue, nggak bisa di ambil sama siapapun. Termasuk Zera!
°°°•••°°°•••°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Ridiculous [SELESAI]
RomansaDijodohin sama tetangga sendiri? Dijodohin sama musuh sendiri? Dijodohin saat masih dalam kandungan? Bisa kalian bayangkan, bagaimana nasib Zera yang harus menikah dengan musuhnya sendiri yang bernama Zero - lelaki konyol yang pernah Zera temui di d...