CHAPTER 25

867 34 1
                                    

"kami akan melakukan meeting kembali bersama perusahan Aerc Australia." Ucap karyawan.

Bram menyimak semuanya dengan intens tanpa terlewat sedikitpun, wajah datarnya memperlihatkan keseriusan.

Bram diam sejenak.

"Baiklah, atur semuanya dan harapan saya proyek dengan perusahaan Aerc bisa berjalan dengan baik karena akan sangat berpengaruh dengan perusahan kita. Kita akhiri sampai disini, sampai bertemu lagi." Ucap Bram yang langsung berdiri diikuti seluruh karyawan dan pergi meninggalkan ruangan.

Saat diluar ia terkejut melihat banyak panggilan tak terjawab di ponselnya, seketika satu panggilan muncul lagi dilayar gawai.

Mata Bram langsung terbelak, wajahnya begitu terkejut dengan apa yang ia dengar, seketika Bram berjalan dengan cepat menuju keluar.

Adit sontak kaget melihat Bram yang tiba tiba-tiba berlari begitu saja setelah mengangkat ponselnya.

"Woi mau kemana Lo?!." Teriak Adit.

"Maksudnya mau kemana pak?!". Timpal Adit setelah ia kelepasan membuat semua karyawan disekitarnya menatap heran.

.

.

.

Sampai di rumah Bram langsung mengemasi barang-barang miliknya juga milik Lucy.

"Ayah kita mau kemana?." Tanya Lucy dengan ekspresi bingung sambil menarik ujung jas milik Bram.

"Kita bakal nyusul mama ke Italia, Lucy tunggu papa di mobil aja."

Bram masih ingat jelas apa yang dikatakan oleh seseorang di telpon tadi.

"Apa ini dengan tuan Bram, kami dari rumah sakit mengabarkan bahwa ibu lili mengalami kecelakaan dan sekarang dalam keadaan kritis, saya harap anda segera kemari. Terimakasih".

Setelah selesai mengemas semuanya Bram langsung tancap gass menuju bandara Soekarno-Hatta.

***

Sore ini gadis dengan pakaian SMA berdiri didepan gerbang menunggu seseorang yang tak kunjung datang, Anya hanya mondar-mandir dan menengok ke kanan-kiri jalan dengan harapan sebuah mobil milik Bram datang.

Tak disangka Reza mengawasinya dari kejauhan dengan motor klasiknya.

"Ck. Mau sampai kapan dia begitu." Ucap Reza yang menarik gasnya dan berjalan kearah Anya.

"Nih." Reza menyodorkan helmnya.

"Dih ngapain Lo masih disini?." Tanya Anya heran.

"Bacot banget cepet naik!."

"Gak ah, gue lagi nungguin uncle Bram." Elak Anya.

"Mau sampai kapan Lo udah 3 jam disini, mau sampai besok?."

Anya terdiam menatap Reza, jika ikut dengan Reza ia takut uncle khawatir saat kemari dan melihatnya tidak ada disini.

Hilang kesabaran Reza turun dari motornya dan langsung mengangkat tubuh Anya yang ringan ke atas motornya.

"Hehh ngapain Lo!!!." Ucap Anya terkejut dengan perlakuan Reza.

Tanpa menghiraukan penolakan Anya dia juga memakaikan helm untuk Anya.

Deg.

Wajah Anya dan Reza begitu dekat sampai Anya bisa melihat detail dari wajah Reza.

Dengan cepat Reza menarik gas dan melaju.

Hening.

Hanya suara deru mesin motor dan kendaraan lain yang bisa ia dengar, perasaan berkecamuk mulai menyelimuti hati Anya yang cemas memikirkan Bram. Apa yang terjadi hingga Bram lupa menjemputnya, padahal ada banyak yang harus Anya katakan padanya.

Reza melirik kaca spion yang memperlihatkan wajah murung Anya disepanjang jalan.

Tidak lama motor milik Reza sampai didepan rumah Anya.

"Thanks ya!." Ucap Anya.

"Yoi." Jawab Reza dan langsung pergi.

"Gue kok ngerasa dia jadi lebih cuek ya sama gue?." Gumam Anya.

Saat ingin masuk ia melihat gerbang rumah Bram yang tertutup rapat.

"Gaada dirumah ya?, Sibuk kah?."

Anya mengeluarkan ponselnya menekan nomor milik Bram.

Bukannya suara Bram ia malah mendengar suara perempuan.

"Nomor yang anda tuju sedang diluar jangkauan cobalah beberapa saat lagi".

"Hmm nggak aktif." Anya hanya berfikir positif mungkin Bram sibuk dan lupa mengabarinya.

Anya menghela nafas berat.

rumahnya begitu sepi seperti hatinya saat ini, tidak ada orang lain yang bisa ia ajak bertukar cerita selain Bram, semua orang selalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri tinggallah Anya sendiri dirumahnya yang besar itu.

Cuaca yang panas dan gerah membuat Anya ingin cepat-cepat mengguyur kulitnya dengan air dingin yang sedari tadi dipanggang karena terlalu lama berdiri didepan gerbang sekolah.

Setiap inci tubuh Anya perlahan basah terkena guyuran air shower yang menyegarkan, matanya terpejam menikmati ketenangan hingga pikirannya kembali kepada Bram sang duda anak satu itu.

Setelah mandi ia bergegas mengecek ponselnya berharap sebuah pesan atau panggilan tak terjawab masuk di ponselnya, harapannya pupus tentang itu melihat layar gawainya kosong hanya ada notifikasi penyimpanan penuh yang selalu setia disana.

Anya segera memakai pakaian santai dan mengeringkan rambutnya.

"Ahhh segerrrr..."

Anya menjatuhkan badannya dan berbaring diatas kasur kembali mengecek ponselnya yang lagi-lagi tak ada apapun didalamnya.

Anya membuka ruang obrolan dengan Bram.

[Uncle sibukkah?.]

[Tolong telpon aku segera setelah membaca pesan ini.]

[Aku akan menunggunya!]

Anya melempar ponselnya kesembarang arah menatap langit-langit kamarnya dengan bimbang, berulang kali ia mengecek ponselnya menunggu panggilan dari Bram, yang bahkan pesannya tak kunjung dibaca.

***

Milan, Italia.

Bram dan Lucy sudah sampai di bandara Italia dan langang menuju rumah sakit.

"Ayah emangnya mama dimana?." Tanya Lucy didalam taksi.

"Mama dirumah sakit Lucy, Kita liat mama sskarang ya." Ucap Bram sambil mengelus rambut Alice.

Walau lili susah menjadi mantan istrinya, ia masih tetap ibu dari Lucy dan lagi pula dia tidak memiliki keluarga lain selain dirinya dan Lucy, perasaan khawatir masih menyelimuti dirinya dipanjang jalan kota Milan. Pemandangan indah sore hari tidak membuat Bram tenang dan semakin gusar tentang keadaan lili.

Hingga sampailah mereka di rumah sakit.

Bram terkejut melihat keadaan lili dari balik pintu kaca ruang ICU yang memperlihatkan lili dengan semua luka dan alat bantu yang menempel di badannya.

Seorang dokter keluar dari ruangan.

"Dokter apa yang terjadi padanya?." Tanya Bram.

"Pasien masih dalam keadaan kritis, kecelakaan hebat yang menimpanya membuat kerusakan pada saraf otaknya, kita berdoa saja pada yang diatas akan segalanya." Ucap sang dokter.

"Baiklah terimakasih dokter."

"Ayah mama nggak papa papa kan?." Tanya Lucy yang sudah menangis, ia mungkin paham dengan yang dibicarakan dokter tadi tapi melihat ekpresi ayahnya sudah cukup membuatnya mengerti bahwa ibunya tidak baik-baik saja.

"Mama akan baik-baik saja sayang, kita berdoa saja yang terbaik buat mama ya." Ucap Bram memeluk Lucy.

Uncle BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang