Bram memasuki kantornya seperti biasa diikuti Adit di belakang, para karyawan kantor sudah terbiasa dengan pemandangan menakjubkan ini, Dua pria jakung yang selalu menggetarkan hati.
"Kita ada apa hari ini?". Tanya Bram saat berada di dalam lift.
"Rapat dengan tuan Wijaya pak." jawab Adit memandangi tablet ditangannya.
Tiba saatnya Bram memasuki ruang rapat yang sudah di hadiri beberapa orangnya juga orang dari perusahaan Wijaya, Wijaya sendiri menyusul di belakang Bram.
"Baiklah Kita mulai rapat hari ini." Ucap Adit.
***
Anya berlari di lorong rumah sakit dengan raut wajah khawatir diikuti Dion, hingga tiba mereka didepan sebuah kamar yang memperlihatkan seorang pria terbaring kurus dan pucat melambai ke arah mereka berdua.
"Hai." Ucap Reza.
Anya berjalan masuk tak percaya, air matanya mengalir tak terbendung melihat keadaan Reza yang sudah berbeda saat terakhir mereka bertemu. Reza yang dulu paling kuat menjadi garda terdepannya sekarang hanya terbaring lemas di brankar rumah sakit dengan bantuan alat di tubuhnya.
"Za, sejak kapan za? kenapa lo ga bilang sama kita?" Tanya Anya.
Dion menopang tubuh Anya yang gemetar, ia juga tak kuasa rasanya melihat sahabatnya seperti ini.
"Gue cuma demam dikit kok, gapapa Nya." Jawab Reza.
Ia teringat dulu saat Reza sakit ia selalu mengatakan itu agar Anya tidak khawatir, tapi sekarang kata-kata itu tak ada gunanya saat mata melihat yang sebenarnya.
"Lo bisa sembuh kan za? lo bisa sembuh kan? orang tua lo gimana? udah lo kabarin?"
"Tenang Anya, kasihan Reza." Ucap Dion.
Anya mendekat menggenggam tangan yang dulu keras dan kuat sekarang terlihat kurus dan tak berdaya. Reza tidak berubah, walau sakit ia tetap tersenyum pada Anya seolah-olah tak terjadi apapun.
"Gue gapapa Anya, Jangan nangis gue gasuka. Sorry ya gue ga sekuat dulu buat selalu ngelindungin lo."
"Lo bilang apa si, lo harus tetep lindungin gue! lo harus lihat gue nikah, gue juga mau lihat lo nikah. Jangan aneh-aneh kalo cape istirahat tapi jangan stop lindungin gue!." Ucap Anya dengan nada yang bergetar.
Diluar kamar Dion menghubungi Vino, ia juga berusaha menghubungi orang tua Reza yang ada di luar negeri, namun nihil tidak ada jawaban.
Tidak lama Bram datang bersama Vino.
"Gimana Reza?" Tanya Vino.
"Ya gitu Vin, gue takut banget dia sakit tapi dia terus senyum aja." Ucap Dion.
Vino dan Bram memandang diluar pintu tak berani masuk, mencoba memberi ruang untuk kedua insan yang bersahabat. Bram menutup mulutnya tak percaya dengan kondisi Reza yang sudah memprihatinkan.
"Apa kata dokter?" Tanya Bram pada Dion.
"Kanker om stadium 4."
Vino dan Bram shock bukan main dengan pernyataan Dion, mereka semua shock. Entahlah mereka yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing atau Reza yang terlalu pandai menyembunyikan sakitnya.
Bram mengeluarkan ponselnya, menghubungi Handoko.
Tidak lama Handoko dan Abim datang, awalnya mereka akan menjenguk esok hari karena mereka kira Reza hanya sakit biasa. Setelah mendengar dari Bram Handoko langsung menuju rumah sakit.
"Hubungi orang tua Reza Han, lo punya nomornya kan?." ucap Bram.
"Iya gue punya."
Handoko terus saja mencoba menghubungi namun tidak ada jawaban,
"Apa yang mereka lakukan sehingga tidak bisa mengangkat telfon sekalipun." Kesal Handoko.
Handoko dan yang lainnya memilih masuk untuk melihat Reza. Mereka masih melihat senyum itu terpatri di wajah pucat itu. Begitu malang, di saat seperti inipun orang tuanya tidak ada, apa yang membuat pria ini begitu kuat.
"Gausah hubungin mereka om, mereka ga akan angkat." ucap Reza.
"Kalian ada disini udah cukup kok buat gue, seneng banget punya kalian, makasih om Handoko udah sering banget bantuin aku dari dulu."
"gapapa Reza, jangan banyak bicara dulu kamu harus sembuh dulu." ucap Handoko.
"Gue ngantuk Anya, boleh ya lo tetep disini dulu. Sebentar aja." Pinta Reza.
"Iya, gue dan yang lain bakal tetep disini nemenin lo, tenang aja." ucap Anya.
Dion dan Vino sedari tadi sudah tak bisa menahan air matanya, mereka benar-benar terpukul.
"Lo kan sekarang udah ada Om Bram yang lebih kuat lebih bisa lindungin lo, gue mau istirahat dulu gue ngantuk Nya. Lo jaga diri ya, Walau ga ada gue masih ada Dion sama Vino yang bakal nemenin lo."
"Gue juga mau lo Za." Ucap Anya
"Gue juga, tapi gue ngantuk pengen tidur." Ucap Reza dengan senyumnya.
Tangannya yang rapuh terangkat perlahan membelai rambut hitam Anya. "Jangan nangis, gue cuma mau tidur aja."
"Ga, ga boleh."
Reza tersenyum, genggaman tangannya mengendur begitu juga matanya yang perlahan menutup.
Tangis Anya pecah dalam ruangan putih itu, lagi-lagi orang tersayangnya harus meninggalkannya di tempat yang sama."Biarkan dia istirahat dengan tenang nya." ucap Bram berkaca-kaca. Terlepas apa yang dilakukan Reza dulu, ia tetaplah orang tersayang Anya. Mereka juga sempat bersama untuk sekedar bertukar fikiran.
Anya memeluk Bram, menumpahkan segala kesedihannya di sana. "Reza uncle, Reza."
Bram hanya bisa terus mengelus surai hitam Anya.
Semua orang berduka, Reza benar-benar pergi meninggalkan orang tersayangnya. Walau begitu ia bisa pergi dengan tenang setelah menyelesaikan semuanya. Hingga jantungnya yang sudah tidak berdetak dan darah yang sudah tidak mengalir itu ia masih tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncle Bram
RomanceFollow dulu sebelum baca ya!🤗🙏 Happy reading ❤️ Anya Anastasya Wijaya, seorang wanita yang tak pernah jatuh cinta tiba tiba menyukai pria seumuran dengan papanya, namun beberapa konfik permasalahan selalu muncul dalam kisah cintanya ditambah denga...