"sebenarnya Bram berasal dari sebuah panti asuhan." Ucap Handoko.
Anya, Abim, juga Dona langsung melihat kearah Handoko dengan tidak percaya.
"Dia di tinggalkan oleh ibunya di panti asuhan lalu pasangan dari Paris itu mengadopsinya, Bram berusaha keras melawan semua trauma yang ibunya tinggalkan. Sedari kecil dia selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk semua orang agar dia tidak kesepian, agar dia tidak lagi ditinggalkan." Ucap Handoko, mengingat dulu akan menyedihkannya hidup Bram membuatnya sangat sakit.
Anya tak bisa berkata-kata, pengakuan dari sang ayah sangatlah memilukan. Jadi kejadian masalalu yang selalu mendatanginya lewat mimpi membuatnya selalu akan mati.
"Ini kebenarannya, dia tidak mengatakan padamu karena dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan wanita yang ia cintai. Dia selalu terlihat tegar tanpa masalah walau sebenarnya dia selalu menemui psikolog." Tutur Handoko.
Anya langsung bangkit dan pergi tulang langgang menuju rumah Bram, hatinya terasa remuk mengetahui penderitaan yang selama ini di simpan sendiri oleh Bram.
Saat sampai di dalam rumah Bram Anya bergegas menaiki tangga dan menuju kamar Bram.
Brak.
Bram terkejut saat pintu kamarnya dibuka dengan keras hingga membentur dinding.
"Anya." Parau Bram.
Anya sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, ia berlari lalu memeluk tubuh Bram yang sedang duduk di atas kasur.
"Kau seharusnya mengatakannya padaku, kenapa menahannya sendiri, Kau bisa berbagi semuanya denganku." Ucap Anya sambil menahan isaknya.
Bram mengelus lembut rambut Anya.
"Tenanglah." Bram masih tidak mengerti mengapa Anya datang padanya sambil menangis lalu mengatakan hal ini.
Anya mengendurkan pelukannya, wajahnya mendongak menatap lekat Bram.
"Apa uncle masih tidak percaya padaku?" Tanya Anya.
"Apa yang kau bicarakan, uncle selalu percaya padamu." Ucap Bram lalu tersenyum.
"Jangan tersenyum."
Bram mengerutkan dahinya.
"Jangan menyembunyikan kesedihanmu di balik senyum itu, aku tidak suka. Dan tentang ibumu mari kita cari tau sama-sama." Ucap Anya.
Tangan Anya menggenggam tangan Bram penuh dukungan, Bram mengetahuinya sekarang. Anya sudah tau yang selama ini ia sembunyikan.
Bram langsung saja mendekap tubuh Anya, memeluknya erat tanpa mau melepaskannya.
"Setelah semua yang kau tau, tolong jangan tinggalkan aku." Lirih Bram.
"Sependek itukah pikiran uncle sehingga aku akan meninggalkanmu karena masalah ini, aku akan membantumu! Kita lakukan ini bersama. Jadi, berjanjilah kau tidak akan menyembunyikan apapun lagi dariku." Ucap Anya di balas anggukan oleh Bram.
"Uncle lepaskan! Apa kau akan membunuh calon tunanganmu ini?!." Decak Anya.
Bram melepaskan pelukannya lalu tersenyum, membelai lembut wajah teduh yang selalu tersenyum didepannya, terimakasih pada takdir yang sudah menyatukan dua orang yang saling melengkapi kekurangannya.
"Aku sudah menemukan ibuku." Ucap Bram.
"Benarkah?"
Bram mengangguk lalu menundukkan kepalanya.
"Kau akan terkejut jika mengetahuinya." Ucap Bram.
"Kenapa? Ayo kita temui ibumu dan mengundangnya untuk pertunangan kita nanti malam." Ucap Anya menarik tangan Bram penuh semangat namun, Bram masih dalam posisinya membuat Anya duduk kembali.
"Aku memang mencarinya, tapi setelah melihat wajah itu sesak rasanya mengingat saat dia membuangku. Mengingat saat wanita itu pergi tanpa menoleh kembali walau anaknya terus berteriak dan menangis mengatakan jangan tinggalkan aku sendirian." Bram meletakkan kepalanya pada bahu Anya, tubuhnya bergetar hanya karena sekedar mengingat wajah sendu ibunya.
Anya menepuk lembut punggung Bram, mungkin dirinya lupa akan trauma yang Bram miliki, menerima orang kembali juga bukan hal yang mudah. Luka yang mengering kembali terbuka bersama dengan rasa sakitnya.
"Aku tau, tidak mudah bagimu untuk menerimanya kembali, tapi bagaimanapun dia tetaplah ibumu, dia yang melahirkanmu. Sebenci apapun uncle padanya tidak akan merubah bahwa dia adalah ibumu." Ucap Anya.
"Aku butuh waktu."
Setelah itu Anya pergi kebawah untuk sekedar membuatkan coklat hangat, coklat hangat hanya baik untuk membantu menengkan pikiran dan hati.
Anya pergi menuju kamar Bram sambil membawa dua cangkir coklat hangat ditangannya.
Bram duduk di depan balkon memperhatikan pemandangan pagi hari yang asri, kabut perlahan menghilang saat sang mentari mulai menyebarkan cahayanya.
Tuk.
Anya duduk didepan Bram sambil tersenyum.
"Minum ini." Ucapnya.
Bram menyeruput coklat panas buatan Anya, hangat langsung menyebar dalam tubuhnya saat satu tegukan itu masuk kedalam tenggorokan.
"Anya."
"Hm." Gumamnya sambil menyuruput coklat hangat.
"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Vino adalah adikku." Ucap Bram.
Anya terkejut hingga terbatuk, kebenaran perlahan terungkap dengan kenyataan yang tidak disangka.
"Hey pelan-pelan." Ucap Bram
"Apa maksud uncle?" Tanya Anya.
Bram hanya diam menatap ke arah lain, tampak tenang namun begitu pening.
"Jadi, selama ini..." Anya tak bisa berfikir, semuanya penuh teka-teki selama ini. Tidak disangka bahwa ternyata yang Bram cari adalah ibu dari temannya.
Anya hanya menatap pria didepannya yang terlihat sangat tenang dengan kemeja biru tua, kacing atasnya dibiarkan terbuka dua, dan kedua lengannya dilipat hingga siku. Rambutnya masih berantakan tak beraturan menandakan bagaimana kacau pikiran pria itu.
Anya bangkit dari duduknya lalu berjalan kearah Bram, kemudian memeluknya.
"Jangan terlalu dipikirkan, yang penting kita sudah mengetahuinya. Jangan terlalu dipaksakan, perlahan saja." Ucap Anya.
Bram mengangguk, dia terlalu banyak diam hari ini.
"Pulanglah, kita harus bersiap." Ucap Bram.
"Uncle benar, aku sampai lupa." Kekeh Anya.
"Woi Anya Anastasya Wijaya! Turun lo!" Seru Dona dari bawah hingga mengagetkan Bram dan Anya.
Anya langsung melihat dari balkon, terlihat Dona berkacak pinggang mendongak kearahnya.
Anya mengacungkan kedua jempolnya pada Dona sambil tersenyum, mencium pipi Bram sekilas lalu turun untuk menyusul Dona.
Bram hanya menggelengkan kepala, sikap random Anya selalu bisa membuatnya tersenyum, matanya menatap sebuah lingkaran berisi angka di dinding.
"Ah sudah sore, aku harus bersiap." Ucapnya.
Waktu bersama Anya berjalan sangat cepat, tidak terasa ia bersama dengan wanita itu seharian ini, wanita yang selalu menerimanya, mendengarkan keluh kesahnya, bahkan menghiburnya. Senyuman Anya selalu saja terpatri dalam pikiran Bram.
"Tidak lama lagi." Ucap Bram tersenyum lalu memasuki kamar mandi.
Hai semuaa...
Maaf ya baru up karena sibuk di rl wkwk😂.Jangan lupa vote dan komen ya bye♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncle Bram
RomanceFollow dulu sebelum baca ya!🤗🙏 Happy reading ❤️ Anya Anastasya Wijaya, seorang wanita yang tak pernah jatuh cinta tiba tiba menyukai pria seumuran dengan papanya, namun beberapa konfik permasalahan selalu muncul dalam kisah cintanya ditambah denga...