CHAPTER 21

955 43 0
                                    

Matahari sudah menampakkan dirinya, memberikan kehangatan bagi insan di bumi.
Mata Anya mengerjap bersembunyi di balik bantal saat sinar mentari memasuki kamarnya.

"Anya sayang bangun udah siang".

Samar-samar telinga Anya mendengar suara wanita yang begitu familiar, suara yang selalu ia rindukan dalam setiap nafasnya.

Perlahan matanya mulai terbuka menyesuaikan matanya dengan cahaya yang terang, bayangan wanita paruh baya tersenyum didepannya dengan rambut sanggul khas nya.

"Ibu?". Lirih Anya.

"Anya bangun ya nak jangan malas-malasan, ibu udah bikinin nasi goreng kesukaan Anya". Ucapnya lagi.

Mata coklat nan indah milik Anya perlahan penuh dengan buliran bening hingga tumpah membasahi pipinya, kaki jenjangnya perlahan beranjak menghampiri seseorang didepannya.

"Ibu...". Suaranya semakin parau menandakan sakit di dadanya yang tak bisa ia tahan, air mata yang terus mengalir tak bisa ia bendung.

Kaki itu terhenti didepan sosok wanita yang melahirkan dirinya, membuatnya bisa melihat dunia yang fana, senyumnya begitu tulus kearah Anya.

"Anya jaga diri baik-baik ya, ibu selalu ada di hati Anya, jangan bikin repot Abang kamu juga ya. Ibu ada disisi Anya jagain Anya". Ucapnya.

Bibir Anya membeku, hanya ada Isak yang keluar dari pita suaranya. Air mata yang terus mengalir deras bagai rindu yang tak kunjung tuntas.

"Ibu...". Anya mendekat berniat mendekapnya untuk sekian lama, namun sosok itu memudar dan menghilang bagai debu.

Tangis Anya semakin pecah, kakinya yang selalu kuat untuk melangkah sekarang tak sanggup menahan tubuhnya sendiri, Anya terduduk menunduk bersama tangisnya.

"Ibu....". Isaknya

Abim yang berniat untuk membangunkan Anya terkejut dikala melihat adiknya terduduk dilantai sambil menangis tersedu-sedu. Abim langsung menghampiri Anya menyentuh kedua pipinya yang sudah basah oleh air mata.

"Anya?". Ucap Abim.

Anya langsung memeluk tubuh kakaknya bagai tempatnya untuk mengadu, orang yang selalu ada untuknya dikala ia butuhkan.

"Kenapa nya? Bicara sama Abang? Lo mimpi buruk ya? Apa ada yang nyakitin Lo kemaren?". Tanya Abim, ia begitu khawatir melihat adiknya yang bangun dengan derai air mata.

Anya menggelengkan kepalanya yang tenggelam di badan besar Abim.

"Terus kenapa nya?, Liat gue!". Abim mengangkat wajah Anya perlahan.

Wajahnya merah, matanya sembab, menatap sang kakak yang teduh.

"Ibu bang, tadi ibu disini". Ucap Anya sambil menunjuk sampingnya.

Abim kembali memeluk Anya, mendekapnya penuh kasih sayang. Tidak pernah ia melihat adiknya tersedu seperti ini, ternyata ini adalah kerinduan sang anak kepada ibunya.

"Ibu udah gaada nya". Ucap Abim sambil berusaha menahan air matanya.

"Tapi tadi ibu disini bang! Anya nggak bohong". Ucap Anya sesenggukan.

Abim tak kuasa untuk menjawabnya, tidak seperti dirinya yang punya banyak kenangan bersama ibunya, adiknya Anya sebentar merasakan kasih sayang seorang ibu.

"Ibu banggg...".

"Iya nya gue tau udah ya tenang". Ucap abim menenangkan Anya dalam dekapannya, sesekali ia mengelap air mata yang sudah jatuh walau ia bendung sekali pun.

Tanpa mereka sadari Handoko berada di ambang pintu melihat kedua anaknya yang sangat merindukan sosok istirnya, air mata menetes membasahi pipinya.

Ia langsung mundur menyenderkan tubuhnya di dinding dekat pintu memperhatikan sosok wanita dengan senyum tulus didalam bingkai.

"Sekuat apapun aku berusaha lun, aku gaakan bisa menggantikan peran seorang ibu dihati mereka". Lirih Handoko.

"Dok gimana keadaan anak saya?". Tanya Handoko kepada seorang dokter yang baru saja keluar dari kamar Anya.

"Anak bapak tidak apa-apa, dia hanya butuh istirahat. Saya sudah berikan obat penenang dan ini resep obat untuk demamnya". Ucap sang dokter.

"Terimakasih dok". Ucap Handoko.

"Sama-sama pak, saya permisi dulu pak, dek". Pamit dokter.

"Mari saya antar dok". Ucap Abim.

Handoko memperhatikan Anya dari luar kamarnya, hatinya remuk melihat putrinya rapuh karena merindukan ibunya.

Tiba-tiba Handoko terkejut saat sebuah tangan menepuk bahunya.

Bram sahabatnya, saat ini tersenyum didepannya seoalah memberitahunya bahwa ia harus kuat.

"Ini salah gue Bram, ini salah gue". Ucap Handoko sambil menutupi matannya dengan tangan.

"Ini bukan salah Lo, ini takdir. Tuhan emang lebih sayang sama Luna". Ucap Bram menenangkan.

"Gue ke kamar dulu". Ucap Handoko lalu pergi meninggalkan Bram.

Bram masuk kedalam kamar Anya, ia duduk di samping ranjang menggenggam tangan hangat milik Anya.

Bram bagai melihat sosok Luna didepannya saat melihat Anya, sifat keras kepalanya, senyumnya, tawanya, begitu persis.

Bram tersenyum.

"Dia mirip banget sama Lo Lun". Lirih Bram.

"Uncle disini?". Ucap Abim.

Bram langsung meletakkan tangan Anya begitu mendengar suara Abim dibelakangnya.

"Eh iya, uncle tau dari bi Sri di ldepan". Jawab Bram.

"Oh gitu".

Entah Abim merasa sedikit tidak nyaman setelah kejadian kemarin saat Bram berebut Anya dengan Reza, mungkin karena ia sedikit mengetahui perasaan unclenya pada adiknya. Rasa tak rela membiarkan adiknya berhubungan dengan pria seumuran ayahnya muncul dalam benaknya.

Bram pun merasakan hal tidak enak melihat Abim yang menatapnya dengan tatapan aneh.

"Kalo gitu uncle pamit dulu ya, uncle harus ke kantor lagi". Ucap Bram.

"Oh iya uncle hati-hati dijalan". Ucap Abim.

Bram melangkah meninggalkan kamar Anya, ia menoleh kebelakang untuk sekedar melihat Anya sebelum pergi, namun ia malah disambut oleh tatapan tajam Abim.






















Hayyy readerss... Berkat kalian nih author udah baikan dan semangat buat nulis lagi,🥳 abis istirahat eh malah kepikiran belum nyeritain soal ibunya Anya jadi author tulis di chapter ini, maapin kalo banyak bawang 😭.

Semoga kalian suka ya sama chapter ini, jangan lupa vote dan comenttttt😘😘😘

Uncle BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang