CHAPTER 57

543 34 1
                                    

Lensa sendu milik sang ibu berembun saat melihat kembali balita yang dulu ia timang sudah berubah menjadi pria dewasa, kerinduannya selama bertahun-tahun tumpah bersamaan dengan air mata yang mengalir tak tertahankan.

"Brian, anak ibu." Suara parau itu keluar dari bibirnya yang pucat dan kering.

Deg.

Dadanya sakit bagai tertabrak ombak besar dilaut lepas tak percaya dengan apa yang ia dengar, bagaimana tiba-tiba seseorang datang mengaku adiknya dan membawanya untuk menemui wanita tua yang mengaku sebagai ibunya. Brian? Siapa Brian? Apa yang terjadi sebenarnya.

"Maaf nama saya Bram, bukan Brian." Ucap Bram ragu, dirinya terlalu terkejut dengan apa yang terjadi.

"Mereka pasti menamaimu dengan inisial kalung yang kamu pakai." Ucap Ibu.

Bram dibuat terkejut lagi dengan apa yang dikatakannya, bagaimana dia bisa tau tentang kalungnya yang bahkan sekarang tertutup oleh kaos yang ia kenakan.

"Maafkan ibu nak, maafkan ibu." Isaknya.

Vino langsung mendekat, mendekap tubuh kurus yang rapuh itu.

"Aku tidak tau siapa kalian sebenarnya, tapi bagiku ibuku sudah mati." Ucap Bram lalu beranjak pergi meninggalkan Vino dan ibunya yang semakin terisak.

Vino keluar menyusul Bram yang akan pergi dengan mobilnya.

"Setidaknya jangan melarikan diri dan  menyakiti ibu saya dengan perkataan seperti itu, Dia wanita yang melahirkanmu!" Seru Vino.

Bram tersenyum kecut, "ibu mana yang tega membuang anaknya? Mau dia masih hidup atau mati, dia akan tetap mati bagiku."

Dia memang mencarinya sosok wanita yang melahirkan dan menelantarkannya selama ini namun, rasanya belum siap menatap mata itu, mata yang penuh rasa penyesalan.

"Brengsek!". Umpat Vino tak percaya dengan apa yang dikatakan Bram.

Bram langsung saja masuk kedalam mobilnya dan melaju menuju jalan besar, kakinya menginjak rem dengan kasar menyalip kendaraan apapun yang berada didepannya tidak peduli dengan suara klakson yang terus bersautan mengutuki dirinya yang sedang tidak baik-baik saja. Hanya seseorang yang terlintas dipikirannya saat ini, seseorang yang selalu ada untuknya, Anya. Tangannya bergetar saat akan menekan nomor Anya, hatinya berkecamuk tidak karuan.

Ditempat lain Anya terbangun saat mendengar ponselnya bergetar, terpampang nama uncle Bram di layar gawainya.

"Ada apa uncle? Kenapa uncle belum tidur?" Tanya Anya.

"Anya aku sedang dalam perjalanan pulang."

Mata Anya terbuka lebar saat mendengar suara Bram yang parau dan seperti bergetar, rasa cemas langsung menyelimuti dirinya saat ini.

"Ada apa uncle? Kau baik-baik saja kan? Apa ada masalah?" Tanya Anya langsung bangkit menuju keluar.

Tak ada jawaban dari Bram, membuat perasaanya semakin kalut. Anya berlari membuka pintu menuju rumah Bram, mobil Bram tidak ada disana yang ia temukan malah motor matic milik Vino. Tidak lama lampu mobil menyorot kearahnya, tidak salah lagi itu mobil Bram.

Bram mematikan mobilnya, lalu keluar.

Pria itu berjalan gontai dengan rambut berantakan juga wajahnya yang kacau, matanya merah berembun menampilkan kesedihan yang kesekian kalinya. Langkah panjangnya semakin dekat dan langsung mendekap wanita yang berada didepannya, wanita yang selalu menjadi tempat bersandarnya selama ini.

Tangis Bram pecah dalam pelukan Anya, seorang pria yang tampak perkasa seperti Bram pun akan menangis jika hatinya terluka, terlalu banyak luka yang ia rasakan selama ini.

Anya menepuk punggung lebar dan kokoh yang sekarang tampak rapuh tak tahan menahan beban yang dipikulnya.

"Semua akan baik-baik saja." Ucap Anya menenangkan, hatinya juga ikut sakit melihat orang yang ia cintai begitu sedih dan kacau.

.

.

.

Bram sudah tertidur dikamarnya dalam dekapan hangat Anya walau terkadang masih terasa isak yang tersisa. Ingin rasanya menanyakan apa yang terjadi, namun itu hanya akan membuatnya bertambah sedih. Tangan halus milik Anya mengelus lembut surai hitam milik Bram tanpa henti berharap akan menyalurkan ketenangan untuknya.

Anya pun ikut memejamkan matanya melanjutkan mimpi indahnya yang tertunda. Baru saja memejamkan mata ia dikagetkan dengan Bram yang semakin mengeratkan pelukannya hingga sesak. Anya membuka matanya melihat wajah Bram yang memerah dan tampak cemas juga peluh yang membasahinya.

"Uncle bangun." Lirih Anya sambil terus menahan sesak dan berusaha mengendurkan tangan Bram, namun sia sia.

Mata lelahnya terpaksa terbuka saat bayangan kegelapan masalalu kembali ingin memeluknya, nafasnya memburu bak seorang pengecut yang berusaha berlari kabur menyelamatkan diri.

Bram langsung duduk tegak dengan segala kepanikan yang menyerang. Melihat Bram yang kembali cemas Anya kembali memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya seperti menenangkan anak laki-laki yang menangis karena jatuh dari sepeda.

"Aku bertemu dengannya, wanita itu." Lirih Bram, tubuhnya bergetar saat berusaha berbicara. "Wanita yang meninggalkanku." Timpalnya.

Anya tampak berfikir, asumsinya langsung tertuju pada wanita ular Lili.

"Waktu kecil dulu." Tambah Bram lalu menyembunyikan wajahnya di tengkuk leher Anya yang hangat.

Anya semakin bingung dengan perkataan Bram, "waktu kecil? Siapa? Ibunya? Bukankah orang tuanya berada di luar negeri semua?". Batin Anya.

Anya teringat waktu Bram pernah serapuh ini, "mungkin ini ada kaitannya".

***

Anya kembali kerumahnya keesokan paginya dengan lingkaran hitam di sekitar matanya karena Bram sama sekali tidak membiarkannya memejamkan mata sedetik pun.

"Ebusettt dari mana lo? Ronda malam?". Tanya Dona yang baru saja selesai mandi dan dikejutkan oleh wajah Anya didepan pintu.

Pikiran Anya masih saja terpaku dengan perkataan ambigu Bram tadi malam, siapa wanita yang ia maksud itu. Anya masuk saja tanpa menghiraukan Dona.

"Astagaaaa Setres! Buta ya lo nya." Umpat Dona.

Setelah mandi dan bersiap Anya dan Dona turun untuk sarapan, sudah ada Abim dan Handoko yang menunggu disana.

"Selamat pagi semuaa!". Sapa Dona dan di jawab senyuman lembut dari Handoko, jangan harap dari Abim ya.

Mereka semua menyantap sarapan dengan khidmat tanpa percakapan apapun, dilihat juga Anya masih saja bergelut dengan pikirannya sejak semalam.

"Orang tua uncle di Paris kan?". Tanya Anya.

"Iya, ada apa?", Handoko heran kenapa anaknya tiba-tiba menanyakan hal itu.

"Ayah yakin? Terus siapa wanita yang ninggalin uncle Bram waktu kecil?". Tanya Anya lagi, matanya menatap penuh keseriusan berharap sebuah jawaban yang mampu menyelesaikan perdebatan di otaknya.

Deg.

Handoko meletakkan alat makannya lalu menatap Anya, begitu juga Abim dan Dona yang sepertinya mengerti pembahasan serius ini.

"Jadi Bram belum mengatakannya pada Anya selama ini". Batin Handoko.

"Mungkin Bram belum siap untuk mengatakannya jadi ayah yang akan memberitahumu sekarang".

Handoko mengambil nafas bersiap menceritakan kisah masalalu yang membuat sahabatnya sekaligus calon menantunya itu trauma selama ini.

"Sebenarnya...."


Uncle BramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang