34. ada apa

264 19 4
                                    

SELAMAT MEMBACA

---

Ruang tengah terasa ramai, lebih dari biasanya. Selain ada ketiga putra Chandra, Jiano, dan Jeremy, ada juga Martin dan Chandra yang duduk di sana. Handy, Fandy, dan Sandy asik dengan kegiatan games mereka sementara Chandra, Martin, Jiano, dan Jeremy menonton televisi bersama, mereka terlihat lebih tenang dan diam dari pada sisi mereka yang berisik.

"Yah, sekarang ada game VR. Fandy bilang seru. Beli, Yah, buat main," Sandy yang sedang bergantian dengan Handy pun menoleh pada ayahnya untuk berbicara.

"Game lagi?"

"Kita belum punya yang itu, Yah, beda. Ayo besok beli, Yah, numpung masih libur."

Chandra menggeleng. Putranya itu selalu saja up to date soal game. Setiap ada yang baru keluar, langsung beli. Mereka akan mengatakan beda dengan yang mereka miliki. 

Mereka boleh bermain games jika bersama-sama dan tidak bertengkar akan hal itu. Tidak ada kata game pribadi, selain yang ada di ponsel mereka. Tidak mengizinkan mereka memiliki dunia sendiri yang akan membuat mereka tidak berbaur dengan yang lain.

"Jeremy, lo kan kemaren banyak bolos. Pasti ketinggalan pelajaran. Lo belajar aja sama Sandy, dia pinter tuh, jagoan olimpiade," masih pada games di depannya, Fandy berbicara tanpa menoleh.

"Kenapa gue? Lo aja sana!" Sandy tidak suka saat namanya dibawa-bawa, padahal ia hanya diam.

"Ya kan lo lebih pinter."

"Lo lebih bego dong dari gue?"

"Wah, lo bego juga ternyata?"

"Gue enggak ngomong gitu!"

"Gue juga enggak tuh! Lo duluan kan yang mulai," Fandy menjawab dengan nada santai.

"Fandy bener. Kamu bisa belajar sama Sandy untuk kejar ketertinggalan pelajaran kamu di sekolah, Jeremy," Chandra berucap menyetujui perkataan Fandy.

Sandy tidak membalas, ia menggerutu kesal. Apa-apaan Fandy memberi usul seperti itu? Kan dia belum tanya apa Sandy mau atau tidak. Jawabannya jelas Sandy tidak mau. Alasannya? Hanya Sandy yang tahu.

"Ayah!"

Hampir semua yang ada di sana menoleh pada sosok yang baru datang. Bintang, tiba-tiba saja anak itu memasuki ruang tengah seraya memanggil ayahnya dengan lantang, sangat tidak sopan bukan? Entah apa yang terjadi pada anak itu.

"Kenapa, Kak?"

"Apa yang ayah lakuin terhadap keluarga Gweez?"

"Kenapa? Kamu ada hubungan apa sama keluarga itu?"

"Jawab aku dulu ayah!"

"Mereka pantas dapat apa yang sudah mereka perbuat."

"Ayah jahat! Ayah udah hancurin keluarga itu!"

"Apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura enggak tau. Aku tau apa yang udah ayah lakuin ke mereka! Kenapa ayah hancurin keluarga mereka!" Bintang mempertegas kalimat akhirnya, menandakan bahwa ia serius dengan pertanyaan itu.

"Itu enggak ada hubungannya sama kamu, Bintang. Jangan ikut campur! Jangan dekati keluarga itu!"

"Brengsek! Jangan dekati mereka? Ayah udah menghancurkan keluarga kekasihku dan aku harus jauhi dia?! Ayah membuatku terlihat jahat di matanya! Aku sendiri yang menghancurkan keluarga mereka! Sialan!" Bintang berdecih. Sungguh ia sangat emosi saat ini. Nampaknya tidak peduli pada apapun lagi. Sadarkah Bintang dengan siapa dia berbicara? Berani sekali ia mengumpati ayahnya terang-terangan seperti itu.

AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang