special part II

384 24 7
                                    

Baca part sebelumnya kalo lupa wkwkkw, ini masih kelanjutan dari sebelumnya hehehe.

---

"Lupain, Han. Jangan siksa diri kamu lagi. Semua baik-baik aja. Hei, dengar ayah, ibu pergi karena tuhan lebih sayang sama dia. Setiap orang pasti pergi, hanya waktunya yang berbeda. Itu takdir ibu, Nak, keputusan terbaik dari pemilik hidup setiap manusia. Kamu enggak boleh salahin diri kamu, itu udah keputusan tuhan."

Chandra masih menenangkan Handy. Membiarkan dirinya berada tepat di depan Handy yang duduk di atas tempat tidurnya. Mendongak karena posisi Handy lebih tinggi. Matanya menatap dalam pada manik kelam sang putra. Tatapan yang Chandra berikan dalam dan lembut, sangat menenangkan, tanpa sadar Handy seolah terhiptonis.

"Anak ayah udah besar kan? Handy tau mana yang baik dan benar. Ayah yakin itu."

Setetes air mata mengalir, membuat Handy menunduk. Ia tidak rela memperlihatkan raut tidak baiknya pada sang ayah. Tidak ingin membuat ayahnya terus kepikiran tentang dirinya. "Handy minta maaf, Yah," bergumam lirih tanpa mau menatap ayahnya yang setia mengarah padanya.

"Handy enggak salah. Ayah enggak salahin kamu. Ayah minta kamu jaga diri lebih baik lagi. Ayah enggak suka lihat kamu kayak gitu lagi. Bisa lakuin apa yang ayah minta?"

"Han usahain, Yah."

"Kamu enggak sendiri, ada ayah, Om Martin, Kak Abin, adik-adikmu juga selalu sama kamu. Jangan takut," Chandra berdiri dan memeluk putranya. Mengusap punggung itu dengan sangat lembut.

Chandra sama sekali tidak menyangka hal ini akan terjadi. Seharusnya mereka datang ke sini untuk liburan bersama, seharusnya hanya ada kebahagiaan di antara mereka. Chandra tidak bisa menyalahkan mereka. Handy atau Jiano, mereka berdua sama-sama tidak bersalah dan Chandra tidak akan menghakimi salah satu dari mereka. Chandra tidak ingin ada yang terluka lagi, apalagi penyebabnya adalah dirinya sendiri.

"Udah lebih baik?" Chandra melepas pelukannya dan menangkup wajah putranya. Menghapus bekas air mata yang masih ada di pipi itu.

"Makasih, Yah. Han minta maaf."

Chandra mengangguk. "Ayah cuma mau kalian bahagia."

***

Jeremy menarik Jiano untuk keluar. Mencari tempat yang lebih tenang dan bisa menghirup segarnya udara hari ini. Sekarang keduanya berada di halaman belakang vila. Tepat di depan kolam renang luas yang menghadap langsung ke laut. Hari ini cerah, awan terlihat biru menawan.

"Kak Jian, Jemy minta maaf. Kak Jian jangan marah sama Jemy. Jemy enggak bermaksud buat kayak gitu. Jemy enggak sadar, maaf, Kak."

"Udah, Jem. Jangan minta maaf lagi."

Hening beberapa saat. Keduanya hanya menikmati pemandangan indah di hadapan mereka. Jiano memilih duduk di pinggir kolam renang, kakinya ia masukkan ke sana. Untung ia memakai celana pendek, jadi tidak akan basah. Jeremy mengikuti apa yang kakaknya lakukan, duduk tepat di samping pria itu.

"Kak, boleh Jemy bicara sama kakak?"

"Apa?"

"Jemy kaget lihat Kak Jian tadi. Jemy sedikit takut lihat kejadian tadi. Itu kayak bukan Kak Jian yang Jemy kenal."

Terdengar helaan napas yang Jiano lakukan. Jiano menatap sekilas pada Jeremy sebelum memandang ke depannya. Sementara adiknya itu menatap padanya meski tidak terbalas.

"Itu Kakak yang sebenarnya, Jem. Kakak emang kayak itu. Tapi enggak tau kenapa, Kak Jian enggak pernah bisa kayak gitu ke kamu. Kamu terlalu berharga, kamu adiknya Kak Jian dan ada rasa enggak berhak bersikap sebagaimana Kakak sebenarnya, ke Jemy."

AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang