51. khawatir

504 26 10
                                    

"Kamu kenapa sih, Dek?" nada suara Jiano berubah setelah berulang kali Jeremy memintanya untuk pergi ke kamar Martin, pamannya.

Jeremy tidak membalas, karena dari nada bicara Jiano saja ia sudah tahu perubahannya.

"Males kakak denger kamu bicarain om terus. Kalo kamu mau sama om, sana temuin dia. Toh sekarang kamu lebih suka pergi sama dia."

"Om Martin sakit, enggak ada yang rawat dia, Kak. Wajar kan Jemy perhatiin om, dia udah bantuin Jemy, dia mau kasih ginjalnya ke Jemy walau enggak kenal sama Jemy. Dan Jemy yakin om ngelakuin itu alasannya Kak Jian. Maaf udah buat Kak Jian marah, Jemy enggak bermaksud, maaf, Kak," setelah mengatakan itu Jeremy meninggalkan kamar Jiano.

Jeremy merasa tidak enak pada Jiano, kakaknya itu sudah sangat banyak membantu. Apakah dengan seperti ini adalah hal yang salah? Tapi Jeremy hanya ingin menemui Martin tanpa ditanya-tanya oleh Jiano, lagi pula Jeremy juga ingin Jiano dekat dengan pamannya.

Jiano mengusap kasar wajahnya melihat pintu yang sudah Jeremy tutup. Ia sebenarnya merasa jengah pada Jeremy yang bekakangan ini sering menemui Martin, selalu pergi sampai malam dengan pamannya itu. Jiano bosan dengan sikap Jeremy, karena Jeremy ia jadi tidak memiliki teman lagi di saat rumah. Sebelumnya Jiano jarang sekali ada di rumah, tapi sejak Jeremy tinggal di rumahnya, ia menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, karena ada Jeremy yang menjadi temannya. Sayangnya belakangan ini Jeremy lebih sering diajak pergi oleh Martin, itu membuat Jiano bosan di dalam kamar tanpa ada teman yang bisa diajak berbicara.

Jeremy menghampiri Martin di kamarnya. Hari sudah malam dan ia ingin sekali memastikan keadaan sang ayah, wajar bukan Jeremy merasa khawatir pada ayahnya? Semua anak pun akan merasakan yang sama seperti Jeremy.

Ada perasaan bimbang saat ia sudah berada di depan kamar ayahnya. Jeremy takut kedatangannya malah mengganggu sang ayah yang tengah beristirahat, tapi ia juga merasa khawatir. Akhirnya ia memilih masuk tanpa mengetuk pintu.

"Ayah?" Jeremy mengintip ke dalam kamar ayahnya.

Tidak ada sautan dari dalam. Masuk beberapa langkah ke dalam kamar agar bisa melihat ayahnya. Ternyata yang ia cari masih tidur di atas kasurnya dengan selimut tebal yang menyelimuti tubunya. Sejak tadi hujan, malam ini sudah berhenti, membuat udara terasa jauh lebih dingin dari biasanya.

"Ayah," Jeremy dengan sedikit keberanian membangunkan ayahnya. Ia sudah membawa makan malam ayahnya yang beberapa menit lalu dibuatkan oleh salah satu pekerja di rumah Chandra.

"Jeremy?" Martin membuka sedikit matanya dan menatap sayu pada putranya.

"Ayo makan dulu, Yah, ini udah malem."

Dengan perlahan Martin duduk dan Jeremy membantunya. Ia menerima semangkuk bubur yang diberi Jeremy dengan tangan yang gemetar.

"Jemy aja gapapa, Yah?" Jeremy mengambil kembali mangkuk bubur itu untuk menyuapi ayahnya. Tidak tega melihat Martin yang sepertinya sangat lemas.

Baru beberapa suap, Martin merasa mual dan makanannya kembali keluar di atas tempat tidurnya, tepatnya selimut yang ia kenakan. Martin tidak sanggup untuk berjalan ke kamar mandi, karena ia merasa benar-benar lemas.

"Ini, Yah, minum dulu," Jeremy mengambil segelas air hangat untuk ia berikan pada ayahnya.

"Maaf,"

"Enggak apa-apa, Yah. Biar Jemy beresin, ayah bisa geser sebentar?"

Martin menuruti ucapan putranya untuk bergeser, membiarkan remaja lima belas tahun itu menggulung selimut yang sudah kotor tadi.

"Ini harus langsung dicuci langsung, Yah."

AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang