40. lagi

375 27 16
                                    



Hari sudah malam, sejak tadi Sandy tidak merasa pernapasannya membaik. Memang tidak separah saat dirinya kambuh tadi, tapi ia masih tetap merasa sesak sepanjang hari ini. Ia bahkan sudah menggunakan inhaler, sudah meminum obatnya. Ia sempat terlelap setelah minum obat. Saat bangun, ia masih merasakan sesak itu.

Sekarang Sandy sedang duduk di ruang makan. Ia menemani ayahnya masak, tapi ia hanya duduk di sana tanpa melakukan apapun. Terlihat bahunya terus-terusan meninggi karena usahanya bernapas. Sungguh sangat tidak nyaman bila ia mengalami sesak seperti itu. Napasnya menjadi cepat dan dia harus berusaha menarik napas lebih kuat dari biasanya.

"Dek."

Sandy menoleh pada paman yang memanggilnya.

"Kamu masih sesak?"

Sandy hanya mengangguk. Ia menghindari berbicara disaat dirinya seperti ini, karena bicara pun menjadi hal yang sulit ia lakukan.

"Udah minum obat?"

Mengangguk lagi. Sandy yang awalnya sedang memainkan jarinya di atas meja pun mulai bersandar pada tempat duduknya.

"Ini minum dulu," Chandra datang dengan segelas air hangat untuk si bungsu.

"Apa enggak dibawa ke rumah sakit aja, Kak?" tanya Martin.

"Anaknya enggak mau."

"Tapi kasihan Sandy."

"Gapapa, nanti juga baik lagi, dia sendiri yang bilang."

Memang sih hal seperti ini biasa terjadi. Tapi melihat Sandy seperti itu jelas sekali Martin kasihan pada ponakan bungsunya. Martin mengusak rambut Sandy sebentar. Ia datang untuk membantu kakaknya memasak makan malam.

"Belom baikan, Dek?" Fandy yang merasa lapar bermaksud mencari makanan yang bisa ia makan sambil menunggu waktunya makan malam. Tapi di ruang makan ia malah mendapati adiknya yang duduk sendirian. Melihat adiknya seperti itu Fandy tahu adiknya belum membaik.

Fandy mengambil kotak donat yang masih ada beberapa isi di dalamnya. Duduk tepat di samping sang adik. Tangannya telurur untuk mengusap bahu adiknya yang ia lihat naik turun.

"Meper ya?"

"Enggak, Dek. Jelek banget sih pikirannya. Mau gak nih?" Fandy mendekatkan kotak donat itu pada adiknya.

"Enggak."

"Udah makan?"

Sandy menggeleng.

"Udah minum obat?"

Sandy mengangguk.

Kasihan juga melihat adiknya seperti ini. Saat Fandy terkena flu dan membuatnya sesak saja ia merasa benci dengan keadaan itu, adiknya malah terbilang sering mengalami itu. Membayangkan saja Fandy tidak sanggup, bagaimana jika dia yang harus berada di posisi itu? Jika ada yang bertanya padanya apa Fandy mau bertukar posisi demi sang adik? Jelas ia katakan dengan tegas tidak, ia ingin ia, adiknya, saudaranya, dan keluarganya bisa hidup sehat dan baik.

"Lo sih udah enggak pernah berenang lagi. Makanya kalo diajak renang itu jangan males!" Fandy mengoceh, seperti kakak yang sedang memarahi adik nakalnya.

"Berisik lo!"

"Ye, dibilangin kakaknya juga, dengerin dong!"

"Sakit, Fan."

Fandy langsung menoleh ke samping ketika mendengar adiknya berucap lirih. Bahkan Fandy baru saja menggigit donatnya saat ia menoleh ke samping. Buru-buru ia meletakkan sisa donatnya dan mengunyah cepat. "Lo kenapa?"

AYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang