Kelas 9 sekolah menengah pertama, bagi mereka hanya fokus untuk belajar, belajar dan belajar. Tetapi tidak dengan Raffa. Ia harus merawat bayi yang di berikan pada seorang wanita asing dan kini wanita itu telah tiada di bunuh. Raffa masih belum bisa yang namanya merawat bayi, apalagi ia hanya tinggal bersama sang ibu.
Beruntung setelah kejadian itu, ibunya mau membantunya merawat Zidan walau saat pertama membawa bayi itu ke rumah, Raffa sudah mendapat omelan dari sang ibu. Wanita itu pikir Raffa telah menghamili seorang gadis sampai-sampai anaknya di berikan kepada Raffa. Memang konyol, tapi setiap orang tua tidak ingin anaknya terjerumus masalah orang dewasa.
Di usia muda, Raffa harus fokus dengan sekolahnya bukan percintaan. Seperti saat ini, ibunya mengomel karena Raffa mengabaikan Zidan yang hampir terjatuh dari atas ranjang. Itu bukan kesalahan Raffa, ia sibuk menggarap pekerjaan rumahnya, jadi ia tidak menyadari jika bayi itu akan mengguling ke tepian ranjang.
"Ayolah ibu, aku tidak tahu. Pekerjaan rumahku menumpuk," ujarnya membela diri.
"Ibu tahu, tapi setidaknya sedikitlah perhatian. Ya sudah, lanjutkan saja PRmu, setelah itu bantu ibu memasak. Biarkan Zidan bersama ibu terlebih dahulu."
Ibu Raffa menggendong Zidan keluar dari kamar. Raffa menghela napas lalu kembali melanjutkan tugasnya yang belum selesai.
Waktu berlalu hingga kini pukul empat sore. Setelah selesai menata bukunya, Raffa pun menuju dapur di mana sang ibu tengah memotong-motong cabai.
"Di mana Zidan?"
"Dia ada di kamar ibu," jawab sang ibu tanpa mengalihkan perhatiannya pada irisan cabai merah.
"Ibuku Wendi yang sangaaat cantik melebihi kecantikan Kim Jisoo Blackpink. Ibu, tanganku sakit, apa boleh ibu saja yang memasak? Aku akan menjaga Zidan, ya, ya, ya?" Raffa mengedipkan mata berulang-ulang agar sang ibu mengasihani dia.
Wanita bernama Wendi itu memicingkan mata. Ia mengembuskan napasnya panjang diakhiri anggukan. Raffa bersorak senang lalu berlari ke kamar Wendi di mana Zidan sedang tidur.
"Jangan menganggunya, Raffa!" teriak Wendi dari dapur. Telat, bayi itu kembali menangis saat Raffa mencubit gemas pipi gembul Zidan.
"Huh, anak itu benar-benar."
"Ffaffaffa mamama~"
Bayi berusia dua tahun itu seolah hendak berbicara kepada Raffa yang sedang sibuk melukis. Raffa terkikik saat bagaimana dengan polosnya bayi itu memainkan kuas lukisnya di atas kepala.
"Tidak boleh Nono, nanti terkena mata pasti aku yang akan mendapat semburan oleh ibu. Begini caranya, kamu celupkan ke dalam cat warna lalu sret ... jadi." Raffa menunjukkan goresan berwarna merah pada kanvas kosong ke Zidan.
Bayi itu bertepuk tangan dengan gembira. Raffa sangat gemas melihat Zidan semakin aktif setiap harinya. Meskipun tanpa kehadiran ibu kandung yang menemani. Raffa akan berjanji, mulai saat ini ia akan menjadi kakak yang akan melindungi Zidan hingga kelak adiknya ini tumbuh dewasa.
"Ffaffaffa, huweee, mamamam!"
Raffa mengerutkan dahi saat Zidan langsung menangis kencang. Ia kelabakan karena ibunya sedang pergi membeli bahan makanan. Sebelumnya yang Raffa ketahui mengenai masalah bayi, yaitu saat mereka sedang lapar atau haus, tapi masalahnya Zidan sudah makan dan minum tadi.
"Aduh, jangan menangis. Aku tidak tau harus bagaimana."
"Haaaah ... Ffaffaffa mamamam!" tangisan Zidan semakin kencang, membuat Raffa semakin panik. Raffa benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, karena tugas merawat bayi adalah ibunya, sedangkan ia hanya ditugaskan untuk menjaga dan mengajaknya bermain.
"Sebentar." Raffa berlari keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian Raffa kembali sembari membawa mangkuk berisi bubur beserta sebotol susu untuk Zidan.
"Aaaa, ayo buka mulutnya, pesawat terbang." Raffa menggerakan tangannya seolah sendok bubur itu adalah sebuah pesawat. Tetapi Zidan melengos, bayi itu menggeleng masih dengan tangisan.
"Astaga ibu, cepatlah kembali ...." desah Raffa frustasi.
Sepulang dari berbelanja, Wendi dikejutkan mendengar suara tangisan Zidan yang membuatnya segera berlari menaiki anak tangga. Dugaannya benar jika Zidan akan menangis, sedangkan anak kandungnya itu memandangnya sendu. "Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis," adu Raffa takut-takut.
Wendi membuka celana yang Zidan kenakan. Menghela napas dalam-dalam kemudian membaringkan tubuh mungil si bayi di atas kasur. "Dia buang air besar, untuk itu dia menangis. Dia seperti ini karena merasa tidak nyaman. Pekalah sedikit sebagai ilmu wawasan ketika kau memiliki anak nanti," jelas Wendi sambil membersihkan kotoran yang membuat Raffa ingin sekali muntah.
"Hey, dulu kau juga begini. Jangan bertingkah jijik karena nanti di masa depan jika istrimu sibuk mengurus rumah, maka kau yang akan membantunya merawat bayi. Kau harus membiasakan diri."
"Ayolah ibu, itu menjijikkan."
"Ambilkan popok di dekat lemari," perintah wendi pada Raffa. Anaknya itu segera berdiri untuk mengambilkan popok bayi di atas lemari.
Pertama, Wendi mengambil tisu basah guna membersihkan anal Zidan, setelah bersih ia segera memakaikan popok dengan telaten. Raffa merasa bangga memiliki seorang ibu yang pandai dalam segala hal. Terakhir Wendi memakaikan kembali celana yang dikenakan Zidan. Bayi itu tidak lagi menangis. Pengetahuan Raffa dalam menjaga bayi jadi sedikit bertambah.
"Buang popoknya, ibu ingin bermain dengan Zidan."
"Ibu~" Raffa merengek kesal namun ibunya tidak menghiraukannya sama sekali. Mengerjai anaknya sekali-kali tidak masalah toh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanficBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias