Dalam keadaan menangis tersendu, ia menghampiri seorang lelaki yang sedang berbicara kepada temannya di depan rumah. Menyadari kedatangan kacaunya, membuat lelaki itu sepenuhnya menghadap dia. Wajah tampan itu tersirat kekhawatiran saat dia menghampiri.
Raffa tanpa aba-aba langsung memukul kencang rahang Hassan, membuat lelaki berkulit eksotis itu terdorong ke belakang. Raffa kembali memukulnya dan kali ini pukulan tersebut sangatlah menggebu-gebu. Hassan yang pada dasarnya tidak tahu maksud Raffa melakukan ini kepadanya, segera mencekal pergelangan tangan Raffa yang hendak kembali membogem dirinya. Gadis cantik yang tadi berbicara kepada Hassan, pun turut menahan Raffa.
"Ada apa?!"
"Kau yang kenapa! Kau membunuh Ibuku! Kau yang menukarkan obat agar Ibuku mati, begitu bukan tujuanmu, hah!" Raffa memberontak saat gadis di belakangnya mati-matian menahan mantel yang dikenakan Raffa agar tidak memukuli Hassan lagi.
"R-Raffa dengarkan aku, akㅡ"
"Cukup San, aku muak oleh kebohonganmu. Apa salahku, hah?! Jika aku memiliki kesalahan, kau boleh memukul, kau boleh melenyapkanku, tapi jangan Ibuku yang kau jadikan sebagai korban. Apa masalahmu karena Ibuku, begitu? Jika benar, lebih baik kau sakiti aku. Kau boleh membunuhku, bunuh aku hingga kau puas. Aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri, tapi kau membuatku kecewa. Aku kecewa padamu, San. Aku membencimu. Aku membencimu!!!" Raffa menendang perut Hassan sehingga pemuda itu tersungkur ke bawah.
"Raffa kumohonㅡakhh ... dengarkan aku dulu ...."
Raffa tak menggubris pemintaan Hassan. "Jangan pernah muncul di kehidupanku lagi, karena aku tak sudi melihatmu. Berterimakasihlah sebab aku masih berbaik hati tidak mengirimkanmu ke penjara!" Raffa menepis tangan gadis di belakangnya kemudian pergi dirasa sudah puas memukuli Hassan.
Bertepatan datangnya Sekar kala melihat Hassan sudah babak belur.
"Raffa," panggil Sekar, namun tak dihiraukan si pemilik nama.
"Ayo pulang." Setelah mengatakan itu, Raffa melenggang pergi. Sekar melirik Hassan sekilas lalu menyusul Raffa.
Semenjak peristiwa di mana Raffa memukuli Hassan, Raffa kembali murung dan enggan berbicara banyak kepada siapapun. Zidan yang melihat Raffa seperti itu menjadi terheran-heran. Dalam benaknya selalu bertanya mengapa Raffa tidak pernah lagi tersenyum? Zidan juga pernah memergoki Raffa menangis dan itu membuat Zidan semakin kebingungan dibuatnya. Setiap kali Zidan mendekat lalu mencoba bertanya apa yang membuat Raffa bersedih, pasti Raffa akan menjawab dengan sebuah kebohongan.
Kini Zidan bersiap berangkat sekolah. Anak itu baru saja bisa memakai baju seragamnya sendiri, meskipun masih terkesan berantakan, akan tetapi perkembangan kemandirian Zidan mulai terlihat sangat baik. Zidan menolak saat Raffa hendak membantunya memakaikan seragam sekolah. Anak itu mengatakan ingin cepat besar agar bisa membantu Raffa mengumpulkan uang. Zidan menambahkan jika bisa mandiri itu berati sudah dewasa. Maka dari itu Zidan ingin mandiri mulai sekarang.
Zidan melihat Raffa baru saja selesai menata sarapan pagi. Zidan meletakkan tas ransel sekolahnya pada sandaran kursi kemudian ia duduk. Walau saat naik ke atas kursi sedikit mengalami kesulitan, ia tetap berhasil saat mengambil kursi mini sebagai alat bantunya untuk naik.
"Kak, Nono sudah besal, 'kan?" tanyanya dengan pandangan berbinar berharap mendapat pujian atas kerja kerasnya memakai seragam sendiri.
Raffa segera menatap Zidan. "Kata siapa, huh? Kau masih kecil."
"Tapi Nono sudah bisa memakai baju selagam sendili, itu beralti Nono boleh kelja bantu kakak, 'kan?"
"Sudah. Diam. Makan sarapan Nono lalu kita berangkat."
Zidan memanyunkan bibir dengan mulut penuh bergerak mengunyah sandwich yang dibuatkan Raffa. Pipi Zidan sampai menggembung. Raffa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala oleh sikap menggemaskan makhluk menjengkelkan namun sialnya Raffa sangat menyayanginya. Zidan selalu membuat mood Raffa bisa kembali lagi, hanya melihat kegiatan polos Zidan yang berangan-angan ingin membantunya bekerja mengumpulkan uang. Anak itu ada-ada saja.
Raffa mengamati pertandingan basket dari tribun. Sorak penonton terdengar memekakkan telinga. Raffa menonton pertandingan hanya untuk menyibukkan dirinya saja. Semua temannya bahkan pergi oleh keasyikan dunia mereka masing-masing, membuat Raffa tidak tahu harus melakukan apa sehingga ia pun memutuskan pergi ke lapangan basket yang kebetulan kakak tingkatnya sedang melakukan pertandingan basket antar mahasiswa dari fakultas berbeda.
"Raffa."
Empunya nama mendongak untuk menatap si pemanggil. Raffa mendatarkan ekspresi, hendak pergi sebelum orang itu menahan tangannya.
"Raffa, aku mohon dengarkan dulu penjelasanku. Baik, kuakui aku melakukan itu, tapi itu semua karena Ayahku yang menyuruhku. Aku sempat menolak, tapi Ayahku mengancam akan lebih memilih melukaimu dan aku tidak ingin hal itu terjadi."
"Bullshit, lepaskan tanganmu atau aku akan menghajarmu di sini!"
"Raffa, kumohon, kumohon jangan membenciku. Aku mohon maafkan aku. Kau boleh memukulku, tapi jangan pernah untuk membenci apalagi menghindar. Aku tidak suka, itu membuat hatiku sakit."
"Hassan!"
"Aku mohon padamu ...."
BUGH!
Seluruh atensi kini memandang kejadian di mana Tio memukul pipi Hassan. Hassan sampai tersungkur oleh serangan tiba-tiba itu, sedangkan Raffa mencoba untuk tidak peduli.
"Berhenti mengganggunya!" gertak Tio kepada Hassan.
Tio mulanya tengah berfokus pada pertandingan, namun netranya berpendar melihat Raffa tampak tak suka saat Hassan mengganggunya. Untuk itu Tio berlari meninggalkan pertandingan dan datang menyelamatkan Raffa.
"Terima kasih kak Tio. Kurasa aku akan kembali, lanjutkan pertandingannya. Sekali lagi terima kasih kak." Raffa tersenyum tipis lantas meninggalkan indoor lapangan basket. Tio ingin membuka suara, namun terhenti saat Raffa sudah melangkah pergi.
Tio menatap Hassan dengan tatapan sengit. "Awas kau menganggunya lagi, aku akan menjitak kepalamu 100 kali!" Lalu Tio kembali ke tengah lapangan guna melanjutkan pertandingan.
"Bangsat!" umpat Hassan.
Chapter berikutnya sepertinya Nono udah dewasa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
Fiksi PenggemarBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias