18. Worried

3.7K 618 21
                                    


"Kurasa aku menyukaimu, Raffa."

"Hah?!" Hassan mematung di tempat setelah mendengar ungkapan langsung dari seniornya. "Tidak boleh, tidak boleh! Apa-apaan kau ini kak. Jangan menerimanya, Fa. Kau tidak tahu betapa berandal dan playboynya kak Tio dan aku tidak ingin kau menjadi target selanjutnya," ungkap Hassan sambil memandang sengit seniornya.

"Jangan menyebar berita hoax!" sungut Tio tak terima.

Hassan memasang wajah garang sembari berkacak pinggang. "Aku berkata sesuai fakta yang ada. Kau berniat memacari Raffa hanya untuk kau permainkan bukan? Kalau iya, lewati dulu jasadku, karena aku tidak akan pernah setuju kau mendekati Raffa!"

"Kau siapa melarang orang seenaknya? Kau tidak ada hak mencampuri urusan orang lain. Sebaiknya kau enyah sebelum aku menghukummu. Kau junior tak tahu diri, di mana sopan santunmu terhadap yang lebih tua?!"

Hassan tertawa mengejek. "Sadar diri juga ternyata jika kau sudah tua. Lebih baik kau ke panti jompo saja."

"Sialan kau!"

Raffa benar-benar geram mendengar keributan yang diciptakan oleh kedua anak adam yang sedang beradu mulut itu. Mentang-mentang penjaga perpustakaan sedang tidak masuk sehingga mereka bisa seenaknya meninggikan suara masing-masing. Raffa memilih beranjak pergi meninggalkan Tio dan Hassan. Mengapa hidup Raffa selalu disertai keributan oleh orang-orang terdekatnya? Sungguh menyebalkan!

"Raffa, tunggu dulu!" teriak Hassan dan Tio berbarengan.

Raffa menggunakan tasnya untuk melindungi diri dari rintik hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raffa menggunakan tasnya untuk melindungi diri dari rintik hujan. Ia berlari kecil menghampiri sebuah sekolah taman kanak-kanak yang sudah sepi oleh para murid. Raffa mencari keberadaan Zidan di dalam kelasnya, namun anak itu tidak ada. Raffa mulai panik, pasalnya Zidan biasa menunggunya datang di dalam kelas, tetapi kemana anak itu menghilang?

"Zidan!"

Tak ada sahutan dari si pemilik nama. Jantung Raffa berdegup kencang dan mulai berpikiran yang tidak-tidak. Sebenarnya Raffa juga sedikit telat menjemput Zidan karena ada tugas tambahan yang mengharuskan Raffa pulang sore. Raffa berlari keluar kelas mencari Zidan disetiap ruangan yang sudah terkunci, namun tetap tidak ada.

"Zidan, jangan seperti ini, kau di mana?!"

Lagi, tetap tidak ada jawaban yang Raffa dapatkan dari Zidan. Rafga sudah mencari di sekitar kafetaria, kamar mandi, ruang baca, ruang guru, namun tetap nihil. Air mata Raffa perlahan mulai turun. Bagaimana jika adiknya ikut dengan orang tak di kenal? Bagaimana adiknya saat ini sedang menangis meminta tolong? Bagaimana jika ada seseorang mau memutilasi tubuh adiknya? Bagaimana, bagaimana, bagaimana, terlalu banyak bagaimana yang terus berputar dalam benaknya saking mengkhawatirkan Zidan.

"Zidan ...."

"Eh? Kak? Kakak kenapa menangis?"

Raffa langsung menengok mendengar suara familiar menyapa indera pendengarannya. Itu Zidan yang datang sambil memegangi payung berwarna putih. Raffa dengan cepat berlari lalu memeluk Zidan, tangisannya semakin kencang lantaran mendapati Zidan ternyata baik-baik saja. Ia hanya paranoid. Takut jika adiknya terkena masalah besar disaat dirinya tidak tahu kemana Zidan pergi.

"Nono kemana tadi? Kenapa tidak menunggu di dalam kelas? Nono ingin membuat kakak mati khawatir memikirkan Nono yang tidak ada? Nono kemana? Hah?!" omel Raffa dengan nada pelan. Raffa tidak akan tega membentak anak sekecil dan serapuh Zidan.

"Nono pelgi ke toko depan sana untuk membeli jepit lambut untuk kakak, hehe." Zidan lekas menunjukkan sebuah jepitan rambut di tangan mungilnya kepada Raffa.

" Zidan lekas menunjukkan sebuah jepitan rambut di tangan mungilnya kepada Raffa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raffa menghapus lelehan air mata memandangi benda pemberian Zidan. "Tapi kakak laki-laki, kenapa Nono membelikan kakak penjepit rambut?"

"Kalena kakak cantik."

Raffa terkekeh geli dan kembali memeluk Zidan. Ada saja cara Zidan untuk menghiburnya. Meskipun terlihat sederhana, tetapi sangat bermakna nilainya.

"Nono pakaikan ya, tapi jangan dilepas," ucap anak itu kemudian menyelipkan penjepit ke rambut samping kanan Raffa. Zidan tersenyum sumringah melihat betapa cantik sang kakak.

"Terima kasih anak baik. Sudah, ayo pulang. Kakak berjanji akan menjaga penjepit ini dengan baik." Raffa mengambil payung yang ada di tangan Zidan lalu menggandeng tangan Zidan pergi dari sekolah.

"Let's goooo~"

"Kematian Wendi masih belum terkuak permasalahannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kematian Wendi masih belum terkuak permasalahannya. Kau tahu obat yang diminumnya sebelum dinyatakan tiada? Obat itu mengandung dosis tinggi sehingga si pengguna obat tersebut akan mengalami beberapa kerusakan saraf sebelum akhirnya merusak sebagian organ dan pembuluh darah. Dan aku menyimpulkan bahwa Wendi mengonsumsi obat tersebut bukan dari resep dokter."

Seorang wanita manggut-manggut mengerti. "Lantas darimanakah Wendi mendapatkan obat tersebut? Kupikir ada seseorang yang sengaja memberikannya. Arlino, besok antarkan aku ke rumah mendiang Wendi. Aku akan melakukan penelusuran."

"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali bekerja."

Wanita itu mengangguk mengizinkan. Setelah laki-laki bernama Arlino pergi, wanita itu memutar kursinya menghadap arah jendela di mana hujan deras tengah mengguyur jalanan.

Baby NonoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang