"Apa kau akan menjemput Zidan terlebih dahulu?"
Raffa mengangguk. "Kau duluan saja, aku bisa naik bus."
"Tidak usah naik bus. Ayo aku antarkan. Simpan uangmu untuk hal yang lebih berguna." Hassan menyeret Raffa masuk ke dalam mobil.
Raffa pasrah menuruti teman baiknya itu. Apa yang dikatakan Hassan ada benarnya, bahwa Raffa harus menggunakan uangnya untuk hal yang bermanfaat. Sebagai contoh yaitu membeli stok bahan makanan dan kebutuhan sekolah.
Disepanjang perjalanan tidak ada yang memulai pembicaraan. Raffa memandang kendaraan berlalu lalang, sementara Hassan fokus mengemudi.
Setiba di sekolah, Raffa segera masuk guna menemui Zidan. Adiknya itu pasti tengah menunggunya sekarang. Dan dugaannya benar, Zidan duduk di dalam kelas seorang diri sambil menggambar sesuatu pada kertas putih.
"Nono."
Si pemilik nama langsung menoleh. Tersenyum ceria melihat kedatangan sang kakak.
"Nono sudah lama menunggu?" tanya Raffa membantu Zidan memasukkan alat gambarnya ke dalam tas ransel.
Zidan menggeleng. Kelas usai baru 5 menit yang lalu. Ada guru yang sempat menemani Zidan, namun harus pulang karena ada urusan mendadak. Alhasil kini anak itu sendirian di dalam kelas menunggu Raffa sesuai permintaan sang kakak tadi pagi.
"Ayo pulang." Raffa menuntun tangan kanan Zidan.
"Bersama Hassan?"
"Hey, kakak sudah bilang, panggil kak Hassan dengan sebutan yang sopan," tegur Raffa, namun Zidan malah mendengus.
"Maaf menunggu lama." Raffa membuka pintu samping kemudi. Zidan langsung naik dan duduk di pangkuan Raffa.
"Tidak masalah," balas Hassan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Suasana hening mulai pudar saat ada Zidan yang terus berbicara banyak hal. Hanya kepada Raffa, bukan kepada Hassan.
"Kak Laffa tahu tidak? di sekolah, Nono mendapatkan 3 teman. Namanya Nathan, Ali, dan Sandi," adu Zidan bersemangat.
"Oh ya? Nono senang bermain bersama mereka?"
Zidan mengangguk-angguk. "Tadi Nono di kasih pelmen, niatnya ingin Nono bagi bersama kakak, tapi keburu habis, hehe."
Raffa terkikik gemas. Ia memeluk Zidan dari belakang. Mengabaikan seorang lelaki di samping Raffa yang memasang wajah masam karena diabaikan.
"Terima kasih sudah mengantarkan kami, hati-hati di jalan ya." Raffa tersenyum simpul kepada Hassan.
"Santai saja. Kalau begitu aku pulang. Lain kali aku akan mampir."
"Baiklah."
Mobil Hassan pergi. Raffa menuntun Zidan masuk ke dalam rumah. Keduanya melepas sepatu masing-masing dan meletakkannya pada rak dekat pintu.
"Ganti pakaianmu, okay?"
Setelah meletakkan tasnya di atas sofa, Raffa melegang ke dapur untuk memasak.
Tanpa membantah, Zidan segera ke kamarnya guna mengganti pakaian. Setelah selesai, anak itu berlari ke dapur menyusul sang kakak yang sedang berkutat dengan berbagai peralatan dapur.
"Nono bantu ya, kak?"
"Tidak perlu, kamu duduk saja."
"Tapi Nono ingin membantu," ucapnya sambil mencebikkan bibir ke bawah. Raffa berbalik badan, menghela napasnya kemudian mengangguk.
"Nono bertugas mencicipi."
"Okey dokey, chef Laffa!"
Raffa terkekeh geli. Ia melanjutkan memotong bawang yang sempat tertunda beberapa detik.
"Kak Laffa sama Hassan saling cinta?" tanya Zidan tiba-tiba. Membuat Raffa meringis saat pisau yang ia pegang tak sengaja melukai jemarinya.
"Akhh!"
"Kak Laffa! Huweee ... tangan kakak beldalah!"
Raffa membuka kran wastafel pencuci piring. Membersihkan sisa darah yang masih keluar dari jari telunjuknya.
"Nono, tolong ambilkan kotak obat," titah Raffa kepada anak itu. Zidan berlari, mendorong kursi lalu naik guna mengambil kotak obat di atas almari kecil.
"Ini kak."
Raffa mencari obat merah. Menuangkannya sedikit lalu mengambil hansaplast untuk menutup luka tersebut. Mata Zidan berkaca-kaca. Jika ia tidak bertanya mungkin hal seperti ini tidak terjadi kepada kakaknya.
"Maaf kak," lirihnya menahan tangis.
"Ssssst ... tidak perlu minta maaf. Sudah biasa kakak terkena pisau karena kurang berhati-hati. Sekarang Nono duduk saja ya? sebentar lagi makanan siap."
"Emm." Zidan menarik kursi meja makan. Duduk tenang sambil memerhatikan Raffa yang memunggunginya dari belakang.
"Kak, apa itu cinta?"
Raffa yang awalnya sedang mengerjakan tugas kuliahnya pun menoleh. Mengapa tiba-tiba Zidan bertanya seperti itu? Zidan terlalu penasaran atau hanya sekedar bertanya sampai menanyakan tentang cinta. Padahal jika Raffa menjelaskannya, pun anak itu tidak akan memahaminya sebelum beranjak dewasa.
"Cinta yang Nono maksud adalah cinta seorang kakak ke adiknya?"
"Bukan! Nono pelnah lihat film, ada laki-laki dan pelempuan, meleka mengatakan cinta dan Nono tidak tahu apa itu cinta."
"Nono masih kecil, kenapa menonton film romantis? Saat Nono besar nanti, Nono akan tahu sendiri," ujar Raffa sambil lanjut menulis.
"Nono kalau sudah besal ingin menikah sama kak Laffa."
"Hah ...!" Kedua matanya membelalak mendengar penuturan Zidan barusan. Kepalanya menoleh patah-patah memandang sang adik yang menampilkan air muka tanpa dosa.
"Kalena Nono cinta sama kak Laffa." Zidan menyengir tanpa tahu apa yang diketahuinya tentang cinta sebenarnya. Bersamaan kedua mata itu langsung menyipit menyerupai bulan sabit saat tersenyum.
"Hoamm ... Nono mengantuk. Nono bobo dulu ya kak. Selamat malam kak Laffa." Zidan mengecup pipi Raffa.
Mata Raffa kembali membola tatkala Zidan kembali menciumnya. Tepat di bibir! Anak itu melegang pergi meninggalkan Raffa yang terpatung di ruang keluarga, dengan jantung berdegup kencang.
"Astaga!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanfictionBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias