20. Doing research

3.2K 559 12
                                    

Raffa berlari kecil menghampiri Zidan yang sedang duduk seorang diri di kursi luar gerbang sekolah. "Kenapa Nono menunggu di luar?" tanya Raffa.

"Masalahnya kakak lama, jadi Nono memastikan kalau kakak tidak lupa menjemput Nono."

"Maafkan kakak ya? Ayo kita pulang, kakak akan membuatkan Nono ayam goreng, mau?"

Zidan mengangguk antusias. "Mau kak, buat yang banyak ya?" tuturnya bersemangat. Raffa terkekeh lantas mengangguk.

Mereka berdua pergi dari pelataran sekolah menuju halte yang tak jauh dari taman kanak-kanak. Menunggu bus selanjutnya datang meski agak sedikit menguras banyak waktu. Karena bus datang sudah dijadwalkan dan tidak seenaknya datang. Itupun sesuai arah tujuan penumpang akan pergi.

Setelah menunggu beberapa menit lamanya, bus datang dan kedua kakak-beradik tidak kandung itu segera naik. Raffa bernapas lega karena penumpang belum terlalu banyak sehingga ia dan Zidan bisa duduk di kursi.

Raffa membiarkan Zidan duduk didekat jendela. Setelah beberapa saat bus pun melaju dirasa tidak ada lagi penumpang yang naik. Raffa mengeluarkan handset dari dalam tas lalu menyambungkannya pada ponsel.

"Nono ingin mendengarkan musik?" tawar Raffa memegang satu sisi handset di tangannya.

"Mau, mau!"

Raffa mengangguk kemudian memasangkan sisi satunya ke telinga kiri Zidan.

"Mau lagu apa?"

"Dino abc!"

Renjun berdehem menanggapinya lalu jemari tangannya bergerak aktif menekan aplikasi YouTube, setelah itu ditekan pilihan berjudul 'musik' yang ada di atas lalu mencari musik yang di rekomendasikan Jeno.

Musik pun berputar meski Raffa cukup kurang suka dengan lagu anak-anak, tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin bukan Raffa memperdengarkan Zidan musik yang sedang melejit tahun ini?

Zidan masih anak-anak, seharusnya melihat atau mendengar hal yang disukai anak kecil pada umumnya, bukan yang berbau orang dewasa. Raffa juga tidak mengizinkan Zidan memainkan ponsel apalagi game online. Raffa tidak ingin mengambil risiko saat Zidan kecanduan game online dan akan membuat anak itu melawan bahkan enggan berjauhan dari gadget. Raffa masih sedikit lega karena Zidan bukan anak pemaksa dan lebih menyukai menonton kartun di TV dibandingkan penasaran dengan kecanggihan gadget.

Raffa juga membatasi waktu menonton Zidan agar lebih ke hal positif, contohnya bermain bersama teman sebayanya. Ini bukan kekekangan untuk kebebasan Zidan, melainkan agar Zidan mengerti bagaimana serunya menghabiskan waktu bersama teman-teman ketimbang mendekam di kamar sepanjang hari.

Raffa berusaha menjadi kakak sekaligus pengganti Ibunya dalam mendidik Zidan yang masih terbilang sangat kecil untuk memahami hal-hal kemungkinan akan membuat anak itu berakhir sulit mengetahui jati dirinya. Apalagi Zidan lahir tanpa tahu sesosok Ayah dalam hidupnya, sedangkan Ibu kandungnya sendiri yang sengaja menyerahkan Zidan kepada Raffaa.

"Dino abc~ dino abc~"

Lamunan Raffa buyar mendengar suara Zidan yang bernyanyi riang mengikuti lirik. Raffa tersenyum tipis mengusap surai hitam Zidan dengan lembut. Zidan adalah anak yang ceria, Raffa menjadi tidak berani sewaktu menceritakan yang sebenarnya kepada Zidan bahwa Raffa bukan kakak kandungnya.

Raffa menatap wajah kebahagiaan Zidan yang membuatnya merasa tenang. Anak itu membawa banyak sekali pengaruh positif untuknya.

 Anak itu membawa banyak sekali pengaruh positif untuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Raffael Simanjuntak."

Raffa baru akan memasukkan kunci ke lubang pintu, tapi terhenti saat seseorang memanggil nama lengkapnya. Raffa membalikkan badan menatap satu orang wanita yang berpakaian hitam. Celana berbahan, t-shirt, jaket kulit, masker, sepatu, dan topi, semuanya berwarna gelap, membuat Raffa was-was jika wanita itu adalah perampok.

"Siapa kau?" tanya Raffa menarik Zidan agar bersembunyi di belakang tubuhnya.

"Tenanglah, ini bibi Sekar, lihat?" Sekar melepas topi dan masker yang dikenakannya. Raffa langsung mendengus kesal memandang Sekar dengan tatapan tajam.

"Aku pikir kau perampok, bi!"

Wanita itu tertawa jenaka. "Aku kemari ingin menanyakan beberapa hal kepadamu."

"Di dalam saja berbicaranya, tunggu sebentar." Raffa memasukkan kunci rumahnya ke dalam lubang lalu memutarnya. Ia memegang gagang pintu lantas mendorongnya perlahan hingga terbuka.

"Silakan duduk, ingin minum apa?"

"Tidak usah, aku sudah minum segelas kopi tadi. Aku di sini juga tidak akan lama karena aku ingin menyelidiki beberapa hal terkait kematian Ibumu. Sebagai temannya, aku merasa janggal karena sebelumnya Wendi tidak pernah mempunyai riwayat penyakit seperti itu."

Raffa tersenyum tetapi pandangannya menatap Sekar datar. "Aku tidak ingin membahas itu."

"Bibi hanya ingin memastikan jika Ibumu tidak dibunuh menggunakan obat itu, Raffa. Sekarang bibi bertanya, apa kau tahu darimana Ibumu mendapat obat yang dikonsumsinya setiap hari?"

"Bibi, aku mohon, aku tidak ingin mengungkit hal yang berkaitan dengan Ibuku lagi! Dia sudah pergi dan aku sudah menerimanya lapang dada!"

"Aku tahu kau sudah merelakannya, tetapi masalah ini jika tidak diselesaikan dengan benar, bibi tidak akan tenang. Tolong katakan padaku dari mana Ibumu mendapat obat itu?"

"Bibi, cukup!" Raffa membentak Sekar, membuat Zidan yang tadinya diam menyaksikan perdebatan kedua orang dewasa ini terlonjak kaget mendengar nada tinggi Raffa yang menggema.

"Nono, masuk ke kamar dulu ya, maaf membuatmu kaget," titah Raffa sambil mengusap rambut belakang Zidan.

"Tapi kenapa kakak membentak bibi Sekar?"

"Zidan, kakak mohon padamu masuklah ke kamar, sekarang!" Raffa menatap tajam Zidan, mau tidak mau anak itu mengangguk dan segera berlari ke kamarnya.

Raffa kini beralih menatap Sekar. "Bibi, aku tahu niatmu baik untuk menolongku, bahkan selama Ibuku masih ada kau selalu menjadi teman baiknya yang pengertian. Tapi tidakkah kau mengerti perasaanku? aku tidak ingin kau mengungkit, membahas kembali, menceritakan ulang atau ingin menguak yang berhubungan dengan Ibuku. Kau sendiri tahu Ibuku terkena leukemia dan yang pasti obat itu diresepkan oleh dokter."

"Dokter Leo selaku dokter yang mengurus Ibuku, yang meresepkan obat dan membantunya melakukan kemoterapi. Tidak mungkin dokter Leo salah memberikan obat. Jika kau ragu, tanyakan saja kepada beliau."

"Aku minta nomor teleponnya," ucap Sekar.

Renjun mengeluarkan ponselnya berniat memberikan nomor Leo melalui pesan pribadi.

"Sudah aku kirim."

"Terima kasih, secepatnya bibi akan memberikanmu kabar jika bibi mendapatkan bukti kalau Ibumu sakit karena obat itu. Bibi pamit pulang, jangan lupa makan yang teratur." Sekar tersenyum tipis menepuk bahu Raffa.

Raffa tak menanggapinya. Menatap punggung Sekar yang sudah menghilang dari balik pintu. Raffa terdiam sejenak. Jika Ibunya tiada karena obat yang dikonsumsinya, berarti dokter Leo sengaja memberikan obat itu kepada Ibunya? Raffa tidak ingin berprasangka buruk terlebih dahulu, apalagi Leo tidak ada hubungannya sama sekali. Dokter Leo merupakan teman Wendi, tidak mungkin Leo melakukan itu kepada Ibunya, toh?

Baby NonoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang