Raffa sungguh menyesali tindakannya karena telah membuat Zidan menangis. Raffa tidak bermaksud memarahinya, ia terlalu lelah berjam-jam membuat pekerjaan rumah, namun bayi itu menyenggol lukisannya hingga rusak. Guru seninya meminta Raffa untuk melukiskan alam, tetapi saat hampir selesai masalah malah menimpa dirinya.
Wendi sedang tidak ada di rumah. Raffa bingung bagaimana bisa membuat Zidan tenang setelah ia berakhir membentak. Raffa masih belum terbiasa oleh keberadaan bayi, untuk itu sedikit payah dalam menjaga anak kecil.
"Aku minta maaf, ayolah, jangan menangis."
Raffa menepuk-tepuk pantat si bayi dalam gendonganya. Ia selalu melihat ibunya saat berusaha menenangkan Zidan agar tenang, kemudian bayi itu akan tertidur dengan sendirinya. Tetapi tangisan Zidan tak kunjung berhenti. Mau tak mau Raffa menurunkan Zidan ke atas kursi sofa.
Apa yang harus Raffa lakukan supaya bayi berusia 2 tahun itu berhenti menangis? Raffa berpikir keras sampai ia menemukan sebuah ide. Beberapa orang tua mungkin pernah melakukan ini untuk menghibur anak mereka yang sedang menangis.
Raffa tidak peduli oleh image, karena Zidan belum mengerti apapun, jadi Raffa membuat wajah lucu. Melakukan ekspresi menggelikan di mana sebelumnya Raffa sangat risih melihat seseorang berbuat seperti itu. Tapi gerakan Raffa dalam mempraktekkan sangat buruk, sehingga tangisan bayi itu semakin kencang.
"Eeh ... aduh ibu, cepatlah pulang." Raffa berjongkok sambil meremat rambutnya bimbang.
Raffa benar-benar gundah oleh tangisan bayi bernama Zidano Halmahera itu. Adik kecilnya mudah sekali menangis. Raffa menebak pasti saat dewasa, bayi itu juga akan tetap cengeng. Antara kesal, bingung, frustasi, kasihan, bersalah, semuanya bercampur menjadi satu sehingga pelipis Raffa berdenyut nyeri.
Tak sampai memakan waktu berjam-jam, Wendi akhirnya kembali membawa tote bag entah berisi apa, namun Raffa menyambut kepulangan sang ibu antusias. Raffa mendengar tangisan Zidan kurang lebih selama satu jam dan di menit terakhir bayi itu berhenti lalu tertidur.
"Wah, damai sekali ya rumah ini, tampaknya kau dan Zidan baik-baik saja. Ibu merasa lega, karena tadi perasaan ibu berubah tidak enak saat memikirkan Zidan."
Raffa tersenyum lebar membalasnya. Tak tahu saja kalau sebenarnya sejak tadi batin Raffa tersiksa oleh tangisan bayi itu. Raffa lantas menjabat tangan Wendi yang langsung menatapnya bingung. "Bu, saat akan ke rumah nenek, pastikan Zidan diajak juga ya? karena anakmu yang tampan ini hampir di buat gila oleh dia," tuturnya diakhiri ciuman singkat di pipi sang ibu.
Wendi melongo, ada apa dengan anak semata wayangnya itu?
Saat ini di ruang makan sudah ada Raffa sedang menunggu masakan ibunya selesai. Zidan tengah bermain di ruang tamu ditemani berbagai jenis boneka yang aman untuk di mainkan. Raffa sempat tak setuju karena ibunya membelikan boneka yang bisa bergerak. Sebenarnya tidak ada salahnya, tapi akan sangat berbahaya jika sewaktu-waktu Zidan merangkak mengikuti boneka itu.
Raffa terlalu paranoid karena jika boneka bergerak keluar rumah, otomatis Zidan akan merangkak mengejarnya. Bayi selalu ingin tahu dengan apa yang ada di sekitar mereka. Sama seperti Zidan. Beruntung Raffa masih memiliki boneka Moomin yang bisa dipinjamkan untuk digunakan adiknya bermain.
"Cepat habiskan sarapanmu, setelah itu berangkat sekolah."
Wendi menghampiri Zidan yang masih bermain dengan boneka berbentuk kuda nil berwarna putih itu. Ia mengangkat badan gempal Zidan lalu membawanya ke meja makan.
Setelah selesai, Raffa langsung menyambar tas sekolah yang tergeletak di kursi sofa ruang keluarga. Raffa berpamitan dengan Wendi, tak lupa menarik pipi Zidan sehingga bayi itu terkikik. Namun saat hendak pergi, adik kecilnya malah menangis.
Setiap Raffa akan berangkat sekolah, pasti Zidan akan menangisi kepergiannya, bahkan saat ia pulang sekolah, bayi itu menyambutnya di depan pintu dengan riang gembira. Wendi yang paham situasi lekas menutup mata Zidan dan menyuruh anak semata wayangnya untuk segera pergi. Tepat saat Raffa sudah lenyap, Zidan tampak mencari disertai bibir melengkung ke bawah.
"Raffa, mengerjakan tugas kelompoknya di rumahmu saja ya? akan ada acara di rumahku nanti sore."
Raffa menoleh mendapati teman sekelasnya berlari kecil menghampiri. Raffa mengangguk saja karena ibunya juga akan ke rumah neneknya lagi siang ini.
"Hassan, apa tugas melukismu sudah kau selesaikan?"
Temannya itu mengangguk. "Hampir selesai, tapi tinggal mengaplikasikannya dengan hiasan kecil agar terlihat lebih indah. Apa punyamu sudah selesai?"
Raffa mencebikkan bibirnya ke bawah, sontak hal itu membuat Hassan mengerutkan dahi.
Reffa harus meminta izin kepada guru seninya supaya memberikan waktu. Besok adalah pengumpulan tugasnya dan lukisan Raffa membutuhkan satu hari penggarapan yang sangat panjang sekaligus melelahkan. Terlebih Raffa juga memiliki banyak PR yang belum sempat ia selesaikan.
"Adikku tidak sengaja menjatuhkan kanvas sehingga lukisanku robek. Aku akan meminta izin kepada Pak Agung. Ayo antarkan aku menemui beliau."
Hassan tersenyum saat Raffa menarik tangannya. Hassan sendiri bingung saat berdekatan dengan Raffa, jantungnya akan terus berdebar tak karuan seakan-akan hendak lepas dari tempat semestinya. Hassan menyukai Raffa. Walau mereka sesama laki-laki, tapi Hassan dibuat jatuh cinta oleh dia. Untuk saat ini Hassan memang belum berani mengungkapkan perasaannya kepada Raffa, tapi suatu hari nanti ia akan memberanikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanfictionBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias