Raffa menerobos kerumunan para murid yang sedang berkumpul di depan papan pengumuman sekolah. Setelah ujian kelulusan selesai, detik-detik menegangkan bagi Raffa karena ia terlalu takut mengetahui dirinya berada di peringkat berapa.
Raffa mencari kelasnya, membaca satu persatu daftar nama kelas dengan teliti. Raffa langsung memekik senang mengetahui dirinya berada di peringkat tiga besar. Di sebelahnya ada Hassan yang tersenyum menatap perilaku lucu sang pujaan hati.
Lelaki manis itu mendapat peringkat satu sesuai harapannya. Raffa memeluk Hassan sambil loncat-loncat bak kelinci. Hassan sedikit terkejut tapi ia membalas pelukan itu, menyandarkan dagunya di pundak Raffa seraya mengusap-usap kecil punggung si manis.
"Congrats," ucap Hassan.
"Aku masih tidak menyangka, San. Ini bukan mimpi, 'kan?" Raffa menatap Hassan dengan kebahagiaan terpacar di wajahnya. Hassan segera menggeleng membuat Raffa kembali memeluknya sembari menjerit senang.
"Aku harus memberitahu kabar bagus ini kepada ibuku. A-aku pulang dulu ya San, sampai jumpa besok." Raffa berlari meninggalkan Hassan yang berdiri memandang kepergian sang pujaan hati dengan pandangan sendu.
"Ibu, aku ada kabar bagus untukmu!"
Raffa berteriak memanggil sang ibu, namun Wendi tak kunjung menunjukkan dirinya, bahkan tidak menjawab panggilannya sama sekali. Raffa melepas asal sepatunya kemudian berlari ke dapur karena biasanya wanita itu sibuk berkutat membuat adonan kue.
Ternyata di dapur Wendi tidak ada. Raffa beralih memeriksa kebun belakang rumah dan hasilnya pun nihil. Raffa berlari ke kamar sang ibu guna memeriksanya di sana.
Ceklek
"IBUUU!!!"
Raffa berteriak keras melihat ibunya tergeletak di lantai dengan darah yang keluar dari hidung. Raffa membuang tasnya, menghampiri sang ibu bersamaan tangisan yang sudah pecah.
"I-Ibu ... apa yang terjadi ...?"
Raffa mengguncang badan Wendi, tapi ibunya tidak kunjung memberikan reaksi apapun. Raffa merangkak ke arah tas sekolahnya guna mencari ponsel. Setelah ketemu, Raffa segera menghubungi Hassan berniat meminta pertolongan.
Tak lama setelah itu, telepon pun tersambung.
"Hassan, kemarilah, tolong aku." Suara Raffa terdengar parau. Dari seberang sana Hassan mulai khawatir.
"Ada apa denganmu?"
"I-ibuku pingsan dan ada darah yang keluar dari hidungnya. Aku mohon cepatlah kemari dan bantu aku membawa ibuku ke rumah sakit."
"Baiklah, baiklah, aku segera kesana secepatnya. Berhenti menangis."
Sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Hassan. Raffa mencari adiknya, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bayi itu di dalam kamar. Raffa lekas berlari keluar, menuju kamar Zidan.
Antara sedih dan senang ketika dirinya melihat Zidan sedang bermain seorang diri di dalam kamar. Raffa lekas mengangkat tubuh gempal sang adik dan membawanya keluar. Bayi itu agak terkejut melihat Raffa tiba-tiba menggendongnya apalagi dengan airmata yang terus mengalir keluar.
"Ffa?" Bayi itu bergumam memanggil Raffa.
Sang kakak tidak merespons. Raffa menurunkan Zidan di atas karpet beludru ruang keluarga. Ia kembali ke kamar Wendi, langsung mengangkat tubuh Wendi ke atas kasur selagi menunggu kedatangan Hassan.
Hampir 25 menit Raffa menangis menunggu Hassan. Lelaki berkulit tan itu sampai dengan mobil yang dibawanya dari rumah. Tenang, bukan Hassan yang mengemudi, melainkan supir pribadinya. Hassan mengajak supirnya masuk guna membantunya membawa Wendi ke dalam mobil.
"San, bisakah kau menggendong Zidan? A-aku ingin bersama ibuku," harap Raffa diiringi napas tersenggal akibat kebanyakan menangis. Hassan melirik ke arah Zidan yang sedang memerhatikan para orang dewasa itu.
"Huftt, baiklah."
Hassan dan Zidan itu seperti rival yang memperebutkan Raffa. Hassab agak kesal oleh bayi itu, sebab setiap dirinya hendak berduaan bersama Raffa, pasti Zidan akan langsung muncul seperti hantu.
Saat Hassan hendak menggendong Zidan, bayi itu langsung memberontak. Menangis meminta tolong seolah dirinya akan diculik oleh pemuda berkulit eksotis itu. Hassan sudah menduga ini, bayi itu enggan bersamanya.
"Diamlah bayi!"
"HUAAAAA FFAAA HUAAA!!!"
Raffa kembali masuk ke dalam rumah kala melihat sahabatnya kelabakan dengan Zidan yang menangis kencang. Raffa menghampiri Hassan lalu menggendong Zidan. Seketika bayi itu berhenti menangis.
Dasar bayi menyebalkan. Hassan menggerutu di dalam hati.
"Jangan menangis, Nono bersama kak Hassan dulu ya?" Raffa mengusap punggung adiknya. Bayi itu tidak menjawab melainkan meremat kuat seragam sekolah Raffa. Seolah tahu jika bayi itu akan diserahkan kepada Hassan lagi.
Raffa mengembuskan napasnya pelan. "Baiklah, tapi jangan rewel, mengerti?" Perkataan Raffa hanya dibalas gumaman tak jelas oleh bayi itu. Zidan menengok ke samping dan langsung memeletkan lidahnya ke arah Hassan, membuat empunya yang diejek langsung melotot tak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanfictionBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias