04. Raffa fever

7.4K 1K 86
                                    

Hachu

Wendi menghela napas sambil menghapus lendir bening yang keluar dari hidung Raffa. Anaknya tiba-tiba terserang demam setelah begadang kemarin malam.

"Sekali lagi ya, setelah itu minum obat," bujuk Wendi.

Raffa menggeleng, matanya sudah memerah karena flu menyerang. Mulutnya juga terasa pahit saat memakan sesuatu.

Zidan yang melihat kakaknya terbaring lemah hanya diam di tempatnya. Bayi itu merangkak ke atas tubuh sang kakak dan berusaha menyentuh dahi Raffa sebelum menariknya kembali. Zidan tampaknya merasakan panas setelah menyentuh dahi Raffa.

"Kak Raffa demam. Nono bermain di luar ya, biarkan kak Raffa istirahat."

Bayi itu seolah paham apa yang Wendi katakan, langsung menggeleng-gelengkan kepala. Dia bergumam mencoba mengatakan sesuatu, tapi mana paham wanita itu. Wendi malah terkekeh gemas melihatnya.

"Ya sudah temani kakakmu, hm?"

Wendi berjalan keluar membawa nampan dan semangkuk bubur di tangannya. Raffa menatap Zidan yang berusaha turun dari atas tubuhnya. Setelah berhasil turun, bayi itu masuk ke dalam selimut yang menutupi tubuh Raffa dan ikut berbaring disebelahnya. Raffa tersenyum simpul, kemudian memeluk Zidan dari samping.

Zidan memandang wajah Raffa yang sudah terlelap memasuki alam mimpi, bayi itu terkikik diakhiri kecupan manis di pucuk hidung mancung Raffa.

Zidan memandang wajah Raffa yang sudah terlelap memasuki alam mimpi, bayi itu terkikik diakhiri kecupan manis di pucuk hidung mancung Raffa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari semakin sore dan kini Raffa sedang duduk memandang luar jendela. Panasnya sudah turun, tetapi flunya masih belum sepenuhnya menghilang. Tiba-tiba ponsel Raffa berdering. Raffa melihat nama si penelepon yang tenyata adalah Hassan.

"Halo Hassan, ada apa?"

Suara Raffa terdengar lemas. Dari seberang sana Hassan mulai cemas.

"Apa kau masih sakit? Kalau masih, aku akan mengantarmu ke rumah sakit, bagaimana?"

"Tidak perlu, aku sudah mendingan, tapi masih sedikit pusing."

"Aku ke sana ya? aku akan membawakan bubur dan obat. Oke, see you."

Telepon Hassan matikan begitu saja. Raffa mendesah pelan, walau ia sudah menolak, yang ada Hassab akan tetap bersikeras pergi ke rumahnya.

Tak lama kemudian suara bel rumah berbunyi. Raffa mendengus, Hassan memang keras kepala. Raffa mendengar suara ibunya yang menyuruh Hassan masuk ke dalam kamar, tepat saat itu juga pintu kamarnya terbuka. Hassan tersenyum sembari menenteng plastik hitam di tangan kanannya.

"Kau sudah makan?" tanya Hassan. Renjun mengangguk malas. "Kalau begitu, bubur ini bisa kau makan nanti. Kau yakin sudah mendingan?" Hassan menyentuh dahi Raffa menggunakan telapak tangannya, ternyata sudah tidak terlalu panas. Ia bernapas lega sedari tadi merasa cemas oleh kondisi Raffa.

"Terima kasih sudah mau ke sini, aku merasa merepotkanmu."

"Tidak masalah."

Hassan berada di rumah Raffa sampai jam 5 sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hassan berada di rumah Raffa sampai jam 5 sore. Saat ini Raffa sedang duduk di ruang keluarga menonton televisi bersama Zidan yang duduk di pangkuannya. Zidan sudah semakin berat sekarang, sedangkan ibunya sedang membuat makan malam di dapur.

"Aaaa~" Raffa menyuruh Zidan membuka mulutnya. Bayi itu menurutinya dengan membuka mulut lebar-lebar. Raffa memasukkan jelly yang ia buat sore tadi bersama Hassan.

"Tidak enak, huh?" tanya Raffa saat melihat adiknya memuntahkan jelly berwarna merah itu. Raffa pun mencicipi dan rasanya juga tidak terlalu buruk.

Ada yang aneh dengan Zidan saat Hassan bermain ke rumah. Adiknya itu terus menempel seperti lem, bahkan tadi Hassan sempat terkena gigitan oleh Zidan. Raffa rasa adiknya memang sedang tumbuh gigi, jadinya lebih suka menggigit.

"Enak kok Zidan."

"Ada apa ini?" Wendi muncul membawa kue muffin cokelat di atas piring. Zidan yang melihat itu segera memberontak ingin meraihnya, tetapi Wendi menyembunyikannya di belakang tubuh.

Zidan bersiap akan menangis.

"Ayo, bagaimana cara meminta yang benar?" tutur Wendi sambil mengeluarkan jari telunjuknya. Zidan mengerjapkan mata berulang-ulang, menatap Raffa yang tersenyum padanya.

"Bubu, Nono nta oyeh?" Dengan tangan mengadah ke depan, Zidan menatap memohon yang sialnya benar-benar sangat menggemaskan. Wendi dan Raffa dibuat terkikik, kemudian wanita itu memberikan satu muffin cokelat kepada Zidan.

"Tima kacih bubu."

Raffa menarik gemas pipi berisi adiknya. Zidan pernah ia ajari cara mengucapkan terima kasih dan berperilaku sopan saat meminta sesuatu, ternyata Zidan bisa belajar secara perlahan-lahan. Raffa bangga tentunya, karena ajarannya bisa di pahami oleh Zidan.

"Makannya pelan-pelan, Nono," tegur Raffa.

Zidan berhenti memakan muffin itu, ia membagi sisa muffin yang belum dimakan untuk Raffa. Zidan berniat menyuapi Raffa. Sang kakak pun membuka mulutnya sambil tersenyum manis. Zidan melebarkan senyuman lalu berdiri untuk mencium pipi Raffa.

"Ffaffa ntik," ungkapnya kelewat senang. Raffa mengerutkan dahi, ia masih belum memahami bahasa bayi sepenuhnya.

"Ibu, Zidan bilang apa ya?" tanya Raffa sedikit berteriak kepada sang ibu yang ada di dapur.

"Dia bilang, Raffa jelek." Wendi tergelak seusai menjawab. Seketika Raffa langsung memanyunkan bibir. Membuat Zidan turut tertawa mendengar jawaban dari sang ibu.

Baby NonoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang