Raffa murung sebab uangnya belum cukup. Marco sempat menawarkannya bantuan, tetapi Raffa menolak untuk kesekian kali. Raffa dan Marco baru saja bertemu dan sangat tidak enak jika langsung menerima tawaran Marco.
Seusai berpamitan kepada Marco, Raffa berjalan sembari menatap setiap toko. Raffa semakin bimbang karena tidak ada lowongan pekerjaan yang sesuai untuk anak sekolah menengah pertama seperti dirinya.
Raffa sangat membutuhkan uang, sampai-sampai ia berpikiran untuk mendonorkan setengah darahnya ke rumah sakit agar ia bisa mendapatkan uang. Raffa segera menggeleng, memukul kepalanya sendiri sebab berpikiran hal konyol seperti itu.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Raffa lekas merogoh saku celana yang dipakainya. Setelah menemukan benda tersebut, ia langsung mengangkat telepon itu.
"Ya kak?"
"Apa kau belum mengurus administrasinya?"
Raut wajah Raffa kembali berubah murung. "Maafkan aku kak, uangku belum cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Kak, bisakah aku membayarnya telat? Aku berjanji dalam waktu dekat aku akan melunasinya."
"Tidak bisa. Itu sudah menjadi peraturan rumah sakit. Bagaimana jika aku akan meminjamkanmu uang? kau tidak perlu cepat-cepat mengembalikannya padaku karena aku juga tidak mempermasalahkannya."
"Tidak kak, aku tidak mau merepotkanmu. Aku akan kesana."
Raffa mematikan sambungan telepon lalu berlari ke rumah sakit. Raffa akan menjual darahnya supaya ia mendapat uang. Raffa tidak tahu harus mencari uang di mana lagi, ia sudah menyerah.
"Kak, tolong ambil darahku. Aku akan menjualnya."
Mata Leo membelalak. Dokter muda itu tak habis pikir oleh jalan pikiran Raffa. Dia menolak bantuan dari orang di sekitarnya karena tidak mau dianggap kurang mampu. Leo sudah agak kesal oleh tingkah Raffa yang selalu menolak bantuan disaat keadaan darurat.
"Apa otakmu sebesar biji kacang sampai tidak memikirkan ke jalan yang lebih mudah tanpa harus menjual yang ada di tubuhmu? Lihat dirimu sendiri, badanmu sangat kurus dan kau berlagak mau menjual darah? Kau akan pingsan setelah ini!"
"Berhenti menolak bantuan. Saat ini ibumu membutuhkan penanganan, bukan menunggumu yang entah kapan bisa mengumpulkan uang sebanyak satu juta dalam waktu singkat. Aku akan meminjamkanmu uang, kau bisa mengembalikannya padaku saat kau sudah memiliki uang," ucap Leo seraya mengeluarkan dompet.
"Tidak kak! Aku mohon hargai keputusan dan caraku dalam mengumpulkan uang. Aku tahu ibuku membutuhkan penanganan dan aku sebagai anaknya yang akan membayar biaya dari hasil kerja kerasku sendiri!"
Leo membuang napasnya kasar. Raffa benar-benar sangat keras kepala. "Terserah kau saja, aku lelah berurusan dengan orang keras kepala sepertimu."
Dokter itu melegang pergi. Raffa menghapus jejak air matanya sembari berjongkok di depan pintu unit darurat. Telapak tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang memerah menahan tangisan. Pemuda itu menangis dalam diam sampai suara bayi terdengar.
Raffa melebarkan mata melihat Zidan merangkak di antara orang berlalu lalang tanpa adanya suster pengawas yang bertugas di ruang penitipan bayi. Rumah sakit ini menyediakan tempat penitipan anak dan Hassan sempat membawa adiknya ke sana agar tidak merepotkan.
"Ffa!"
"Astaga Zidan!"
Raffa berlari kecil menghampiri Zidan kemudian mengangkat tubuh mungil itu. Zidan cekikikan melihat wajah panik yang ditunjukkan Raffa kepadanya. Zidan lekas memeluk Raffa erat, enggan jauh dari sang kakak yang sampai tega menitipkannya ke penitipan anak. Bayi itu tidak suka berada di sana.
"Ffa." Bayi itu memanggil Raffa lagi. Raffa hanya mampu menatap manik legam bayi itu seolah hendak mengatakan sesuatu pada dirinya.
"Nono tidak boleh kabur-kaburan dari kakak suster yang menjaga Nono. Jika Nono diculik bagaimana? Nono mau membuatku menangis karena kurang memperhatikanmu?"
Bayi itu melengkungkan bibirnya ke bawah. Raffa segera menepuk punggung Zidan lembut lalu memangkunya.
"Ffa." Zidan kembali memanggilnya. Kali ini tangan mungil Zidan menarik-tarik kalung yang dipakainya. Kalung itu satu-satunya peninggalan dari ibu Zidan.
Zidan menarik kalung tersebut sampai terlepas dari lehernya. Raffa memekik. Bayi itu menyodorkan kalungnya kepada Raffa seolah tahu bahwa sang kakak sedang membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit Wendi.
Raffa masih bergeming sebelum suara Zidan kembali menginterupsi dirinya. "Ffa!"
Raffa paham sekarang. Ia menggeleng hendak memasangkan kalung itu, namun Zidan malah menghindar dari tangan Raffa yang akan memakaikan lagi kalung itu padanya. Raffa tidak mungkin menjual kalung peninggalan ibu Zidan. Raffa tidak ingin membuat bayi itu melupakan ibunya sendiri.
"Nono, aku tidak mau. Percayalah, aku bisa mengumpulkan uangku sendiri."
Zidan segera menggigit tangan Raffa yang hendak memasangkan kalung itu. Mengakibatkan jeritan tertahan dari si empu. Zidan menggigit tangannya cukup kuat, terlebih gigi bayi itu baru muncul empat.
Raffa menatap Zidan yang menatapnya memohon. Pada akhirnya Raffa pun setuju. Raffa berjanji pada dirinya sendiri jika ia sudah memiliki uang pengganti maka ia akan membeli kalung itu untuk Zidan.
Hanya Zidan yang bisa membuat sikap keras kepala Raffa luluh.
"Terima kasih, Zidan." Bayi itu tersenyum hingga kedua matanya menyipit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanficBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias