Raffa memasukkan beberapa buku pelajaran ke dalam tas sesuai jadwal hari ini. Tepat sekali Raffa ada kelas pagi sehingga mengharuskannya tak bisa berlama-lama di rumah. Zidan yang memang mengerti situasi, tidak ingin membuat Raffa semakin kerepotan membantunya bersiap.Sekitar pukul 5 pagi anak itu sudah bangun, bahkan sudah selesai mandi. Raffa cukup terkejut mengetahui Zidan mandi menggunakan air dingin. Karena biasanya Zidan selalu mandi memakai air hangat.
"Apa kau sudah menyiapkan bukumu?" tanya Raffa setelah selesai menutup retsleting tasnya.
"Sudah, ayo kak belangkat, nanti telat."
Raffa mengiyakan, lantas menyambar kunci rumah yang tergantung di dekat pintu utama. Setelah memastikan pintu benar-benar terkunci, mereka berdua berjalan beriringan menuju halte bus. Kemungkinan bus datang masih agak lama karena hari masih terlalu pagi, sehingga Raffa memutuskan memesan taksi online lewat sebuah aplikasi.
"Lama kak," rengek Zidan.
"Tunggu sebentar, mungkin lagi dalam perjalanan," ucap Raffa sambil mengusak lembut surai halus Zidan.
Tak lama berselang mobil taksi pun datang. "Dengan tuan Raffael Simanjuntak?" tanya sang sopir, Raffa menanggapinya dengan anggukan. Supir pria yang sepertinya berkepala tiga itu mempersilakan Raffa dan Zidan masuk.
"Anak anda sangat tampan, tuan," ujar sang supir ketika melihat Raffa dan Zidan dari pantulan cermin yang ada di tengah-tengah bagian depan dalam mobil.
Raffa terhenyak mendengarnya. "Dia bukan anakku, tetapi adikku, hahahaha." Raffa tertawa canggung membuat sopir itu langsung mengutarakan kalimat maaf.
"Cukup terkejut misalkan mengetahui jika anda sudah mempunyai anak, karena saya pikir anda anak sekolah menengah akhir," ujar lelaki itu diakhiri tawa bernada rendah.
"A-ah ... iya paman."
"Apa? Paman? Yang benar saja. Kau menyebutku paman? Apakah setua itu wajahku sehingga kau memanggilku dengan sebutan paman? Jika kau ingin tahu, usiaku baru 25 tahun. Masih bisa disebut remaja karena aku ini juga termasuk anak gaul sepertimu."
Raffa menanggapinya dengan kekehan. Entahlah, ia terlalu bingung ingin mengekspresikan kata-kata seperti apa. Pria yang sedang menyetir itu meskipun tidak canggung berbicara kepada customernya, cukup membuat suasana dalam mobil tidak terlalu senyap. Zidan juga memilih diam dan memandang luar jendela sambil menampilkan wajah cemberut.
"Namaku Dipto jika kau ingin tahu, hehe."
Lagi-lagi Raffa menanggapinya dengan senyum kelewat canggung. Sedikit risih juga karena Raffa agak tak terbiasa mengobrol dengan orang asing seperti lelaki yang menyebutkan dirinya Dipto itu.
"Mahasiswa fakultas apa?"
"Kesenian, k-kak."
"Woah, itu luar biasa. Kau ingin menjadi arsitek, Ilustrator, Design Grafis? Wah, pertahankan ya, semoga apa yang kau harapkan bisa terwujud. Jarang sekali aku melihat seorang mahasiswa dari fakultas Kesenian. Adikku seorang mahasiswa dari fakultas yang sama dengamu, tetapi harus putus kuliah karena ekonomi yang memburuk. Terus semangat belajar ya, gapai impianmu setinggi langit."
Raffa sedikit simpati mendengar penuturan Dipto. "Aku berusaha kak agar menjadi yang terbaik untuk mendiang Ibuku. Kakak juga tetap semangat mencari uang."
"Aku turut berduka, dan ya, em terima kasih untuk semangatnya," ucap Dipto sambil menyunggingkan senyum terbaiknya meski Renjun tidak bisa melihat karena Dipto menghadap ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanficBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias