Raffa mendengus kesal. Pasalnya, sejak 1 jam lalu, oknum bernama Zidano Halmahera terus saja mengganggunya. Menuturkatakan kalimat manis dalam bentuk syair puisi. Merayunya dengan kata-kata manis yang sialnya membuat Raffa tak bisa fokus pada laptop di hadapannya saat ini."Sepintas cahaya menerangi ragaku, memancarkan sinar putih yang begitu cantik di mata memandang, secantik dirimu yang elok rupawan, akan sangat cocok jika kau bersanding denganku di altar."
Lihat, remaja kelas 12 sekolah menengah atas itu kembali melancarkan aksinya. Menyairkan kalimat puitis yang cukup mendramatisir pengucapannya. Raffa tetap diam sembari menyibukkan diri dengan barang elektronik di depannya yang sedang menyala menampilkan sederet kata-kata membosankan. Sejak tadi Raffa bergeming oleh tingkah konyol Zidan di belakangnya. Sesekali adiknya itu dengan tidak tahu malu membacakan puisi cinta di hadapannya, dengan memperagakan bak aktor di atas panggung teater.
Jika boleh mengakui bakat berperan, Zidan sudah cocok dan bagus melakoni karakternya dalam berakting. Hanya saja jika seperti itu tadi, Zidan terlihat bagaikan orang gila yang terkadang Raffa jumpai di pinggir jalanan.
"Kak, kauㅡ"
"Zidan! Kerjakan hal bermanfaat ketimbang membuang-buang waktu melakukan hal gila!" sela Raffa yang mulai jengah dengan adiknya. Remaja itu memicingkan kedua matanya kemudian memutar balik kursi Raffa hingga pemuda manis itu berhadapan dengannya.
"PR sudah aku selesaikan. Menyapu rumah, mencuci piring, mengepel lantai, melipat baju, menggosok kamar mandi, mengelap kaca, menyapu halaman, menyiram bunga, menyeterika pakaian, membersihkan debu, memasak, lalu apa lagi ya ... ah ya, dan membangun masa depan akan aku kerjakan selepas kita menikah nanti."
Raffa mengambil penggaris besi yang tergeletak di atas papan keyboard laptop lalu menodongkannya ke depan wajah Zidan. "Kau tahu rasanya di pukul dengan penggaris besi ini? Ingin merasakannya sekarang?"
Zidan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku sudah pernah merasakannya saat pak Aldi memukulkan penggaris besi itu di kepalaku. Benar-benar menyakitkan. Dan kakak mau melakukan kekerasan sebelum kita menikah? Astaga, jangan kasar terhadap suamimu, kak," ujar Zidan mendramatisir. Melengkungkan bibir ke bawah seraya memandang sendu wajah cantik di depannya.
"Zidan! Aku bersungguh-sungguh dengan perkataanku!"
Zidan mendecak lantas duduk di atas lantai menatap Raffa. "Jangan terlalu serius, belum saatnya kakak serius. Karena aku belum lulus untuk meneruskan hubungan kita ke jenjang lebih lanjut. Tunggu aku lulus baru kita akan menikah."
"ZIDAN, KAUㅡ"
"Wait, wait, wait, aku tahu kakak berniat mengatakan kalau aku menyebalkan. Semenyebalkannya aku, kakak pasti cinta denganku, benar bukan?" Remaja itu menaik turunkan kedua alisnya, dengan percaya diri menebak kalimat Raffa yang belum tentu benar atau salah.
Raffa mendesah frustasi. Seatap dengan Zidan sekaligus hidup beberapa tahun denganya sudah membuat Raffa cukup pusing. Raffa mulai menemukan sifat Zidan yang setiap harinya semakin menyebalkan. Entah darimana Zidan mempelajari gombalan-gombalan receh yang diujicobakan langsung kepadanya. Zidan sangat pandai merebut hati, meski usianya baru menginjak 17 tahun dan digandrungi banyak para gadis maupun laki-laki submisif, Zidan akan tetap memilihnya.
Ucapan Zidan ketika adiknya itu masih kelas 5 sekolah dasar, pernah sempat mengatakan, "Jika aku sudah besar, bolehkah aku menikahi kakak?" Jujur waktu itu Raffa hanya menanggapi perkataan Zidan sebagai candaan, namun seiring tahun berganti sampai Zidan sudah berada di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama, Zidan kembali berkata akan menikahinya. Bahkan Zidan pernah menangis meraung-raung memohon kepada Raffa untuk berjanji kepadanya jangan mempunyai kekasih sebelum dirinya lulus sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanfictionBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias