33. Epilogue

5.4K 514 129
                                    

Raffa membuka kedua matanya dengan keringat yang sangat banyak. Jantungnya berdebar kencang menyadari bahwa mimpi buruk itu membuatnya terbangun pukul empat dini hari. Raffa menoleh ke samping, suaminya, Zidano Halmahera tertidur sangat pulas.

Raffa bernapas lega. "Mimpi bodoh itu lagi," gumamnya menahan kesal.

Ia mencoba kembali memejamkan mata tetapi tidak bisa. Pada akhirnya Raffa pun terjaga hingga fajar tiba.

Saat matahari terbit, Raffa sudah menyelesaikan acara memasaknya. Tinggal membangunkan Erik dan Zidan.

Raffa melangkah masuk ke dalam kamarnya. Senyumnya turut mengembang mengetahui pria yang dicintainya sudah bangun. Raffa pun mendekat lalu mengecup pipi Zidan.

"Selamat pagi, ayah."

"Pagi juga, bubu."

Raffa terkikik geli. "Nah, cepatlah mandi. Kau harus pergi bekerja bukan hari ini? Aku akan membangunkan Erik terlebih dahulu."

Zidan mengangguk patuh. Pria itu mengambil langkahnya masuk kamar mandi, sedangkan Raffa menggeleng-gelengkan kepalanya geli. Raffa membuka lemari pakaian berinisiatif menyiapkan pakaian kerja untuk sang suami selagi Zidan tengah mandi.

Dari ambang pintu, Erik menatapnya. Anak laki-laki itu berjalan mendekati sang bubu yang masih sibuk memilah-milah pakaian.

"Bubu."

Raffa menoleh ke bawah. "Wah, anak bubu rupanya sudah bangun. Kenapa tidak langsung mandi?"

Erik terdiam melihat bubunya yang berperilaku seperti demikian. Anak itu langsung berhambur memeluk Raffa yang mana membuat Raffa terkejut saat mendengar isakan kecil lolos dari mulut Erik.

"Bubu, ayah sudah ada di dalam tanah!" ucap Erik dalam tangisan kencang.

Kini Raffa yang terdiam membisu. Ia melepas paksa pelukan erat sang anak. Menatap tajam Erik yang menangis pilu.

"Jangan sembarangan, Erik. Bubu tidak suka caramu berbicara. Kenapa kau selalu mengatakan ayah meninggal, ayah meninggal, ayah meninggal, ha? Kau ingin melihat ayahmu meninggal, begitu?!"

Erik menggeleng ribut. "Tapi ayah memang sudah tidak ada. Tolong jangan seperti ini. Bubu membuat Erik takut ...." tutur anak itu. Tangisannya semakin kencang saat melihat Raffa tetap bersikukuh menganggap Zidan masih ada.

Raffa memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Ia berteriak, membuat Erik terkejut. Anak itu berlari keluar dari kamar orangtuanya. Berhenti di samping meja bundar kecil, tangan mungilnya bergerak aktif menekan nomor seseorang melalui telepon rumah.

"Om Hassan, datanglah kemari. Bubu berteriak sakit!" adunya meraung-raung.

Dari seberang sana Hassan turut panik mendengar tangisan melirih anak itu. "Erik, om akan segera ke sana. Jaga bubunya dulu, mengerti?"

"M-mengerti, Erik mohon, cepat."

Sambungan telepon berakhir. Erik kembali ke kamar di mana Raffa masih memegangi kepalanya. Erik pun mendekat lalu mendekap kepala Raffa dengan linangan air mata yang tiada hentinya terus keluar.

Selang beberapa menit kemudian Hassan datang secara tergesa. Pria tampan berjas itu masuk rumah seperti orang kesetanan. Hassan berlari ke kamar saat mendengar suara Erik memanggilnya untuk segera ke sana.

Hassan berlutut, menangkup pipi Raffa agar menatapnya. Napas Hassan memburu melihat betapa rapuhnya seseorang yang saat ini sedang berada di hadapannya.

"Tenang, aku di sini. Semuanya baik-baik saja, tenanglah," tutur Hassan lembut. Ibu jari Hassan membelai pipi Raffa lalu detik selanjutnya membawa tubuh Raffa ke dalam pelukan hangat.

Raffa menangis di dalam pelukan Hassan. Pria itu menenangkan Raffa sambil mengusap surai belakang Raffa. Hatinya ikut sedih menyaksikan Raffa dalam kondisi tidak baik-baik saja.

"Zidan masih hidup, kau harus percaya padaku, San ...."

Hassan mengangguk. "Iya aku mempercayaimu. Zidan masih hidup dan selalu ada bersamamu." Hassan menatap Erik dengan senyuman. "Erik berangkat sekolah ya? Ada paman supir yang akan mengantar Erik ke sekolah."

"Erik tidak mau, Erik ingin bersama bubu."

"Erik, bubunya sedang kurang sehat untuk mengantar Erik pergi sekolah. Erik patuh ya? sekarang paman minta Erik bersiap karena paman supir sudah menunggu Erik di depan," bujuk Hassan. Erik pun mengangguk lalu berjalan keluar dari kamar.

Hassan lekas menggendong Raffa dan memindahkannya di atas tempat tidur. Hassan membuka laci nakas mencari obat penenang untuk Raffa.

Kematian Zidan membuat Raffa  menjadi depresi berat. Raffa seringkali berhalusinasi dan menganggap Zidan nyata.

Hassan menyodorkan pil berwarna putih itu pada Raffa dengan tangan kirinya yang memegang segelas air putih. Raffa langsung mengambil obat itu lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Ia mulai sedikit tenang. Hassan duduk di tepian ranjang seraya mengusak rambut Raffa. "Kau harus sembuh agar bisa menjalani aktivitas seperti sediakala."

Raffa bergeming. Tatapannya berubah kosong. Hassan yang melihat itu hanya tersenyum.

"Kau membuatnya terpuruk, Zidan."


















Udah ah cape, saya suka sad end tapi tidak bisa membaca sad end. Udah Epilognya gini aja, di dalam cerita apa yang Renjun alami itu bukan mimpi tapi benar adanya. Yang protes, sini saya kurung di kandang macan.

Oke paipai.

(15 Februari 2022)

Baby NonoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang