Hassan mengusap bahu Raffa guna menenangkannya. Setelah pemakaman Wendi selesai, Raffa terus saja menangis. Hal itu membuat Hassan merasakan kesedihan yang juga Raffa rasakan.
Betapa rapuh hati Raffa saat ditinggal oleh Ibu yang menjadi satu-satunya keluarga yang tinggal dimilikinya.
"Kau bisa tinggal bersama bibi, Raffa."
Itu ibu Hassan, Intan namanya. Raffa menghapus air matanya lalu menggeleng. Ia takut merepotkan wanita itu.
"Tidak bibi, terima kasih atas tawarannya."
"Jangan berpikiran akan merepotkan bibi. Hassan yang sering merepotkanku saja, bibi maklumi. Apa kau bisa menjaga adikmu saat kau disibukkan oleh tugas sekolahmu?"
Raffa terdiam. Ibu Hassan ada benarnya, tapi dalam lubuk hati terdalam Raffa, ia tidak ingin membebani wanita itu.
"Aku yakin aku bisa. Tapi saat aku sekolah, bisakah bibi menjaga Zidan untuk sehari?"
Intan mengangguk. "Baiklah jika kau bersikeras maka bibi tidak akan memaksa. Bibi akan menjaga Zidan saat kau sekolah. Tapi berjanjilah pada bibi, saat kau membutuhkan sesuatu, datanglah ke rumah bibi, mengerti?" Intan membawa Raffa ke dalam pelukannya.
Tangisan Raffa kembali pecah, membuat Hassan hanya bisa berdiri diam di tempat.
Raffa menghampiri Zidan yang sedang memakan cokelat batangan di atas kursi sofa. Ia menghela napasnya panjang melihat mulut beserta tangan adiknya kotor karena makanan itu.
Raffa berkacak pinggang. Siapa gerangan yang memberi adiknya itu cokelat?
Menyadari adanya Raffa, bayi itu mendongak lalu menampilkan keempat giginya kala melihat sang kakak yang berdiri tengah menatap dirinya.
"Cokat, nyam-nyam~"
Mulutnya yang penuh membuat pipi gembil Zidan menggembung. Terlihat sangat lucu saat bayi itu mengunyah disertai mulut yang mengerucut maju.
Raffa berjongkok, mengambil tisu basah kemudian membersihkan tangan Zidan yang dipenuhi oleh cokelat.
"Nono nakal, siapa yang memberimu cokelat, huh?" tanya Raffa menahan gemas. Bayi itu lekas memiringkan kepala lantaran tidak mengerti akan maksud ucapan Raffa.
Tangan kanan Zidan menyentuh pipi Raffa. Bekas cokelat yang belum sempat dibersihkan Raffa berhasil mengotori pipinya. Setelah melakukan itu, Zidan tertawa terpingkal melihat reaksi yang ditunjukkan oleh sang kakak.
"Nono! Jadi kotor pipiku! Dasar bayi nakal."
Raffa menarik pelan pipi gembul Zidan. Bayi itu ambruk ke belakang sambil menghentak-hentakan kakinya ke udara. Mood Raffa langsung kembali. Zidan berhasil membuatnya tertawa. Meskipun caranya terbilang cukup konyol, akan tetapi Zidan senang bisa melihat kakaknya berhenti bersedih.
Selepas canda tawa di ruang tamu usai, Raffa membawa adiknya ke kamar agar tidur. Hari belum terlalu larut, tapi Raffa tidak ingin membuat adiknya tidur kemalaman. Saat ada ibunya, Wendi melakukan hal serupa dan Raffa yang sedikit paham pun menirunya.
Raffa menyempatkan diri membuatkan susu untuk Zidan sebelum pergi tidur. Ia memastikan air yang digunakan hangat dan tidak terlalu panas. Walau melakukannya sedikit repot, tapi lama kelamaan Raffa semakin bisa. Setelahnya, ia pun kembali ke kamar.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.25 pm. Raffa melirik Zidan yang masih senantiasa bermain bersama boneka gembul berwarna putih. Meski Zidan tidak mengeluarkan suara, Raffa benar-benar sangat mengantuk. Adiknya belum juga tertidur, padahal Zidan sudah habis 2 botol susu formula.
"Nono, tidur ya? aku mengantuk," bujuk Raffa dengan suara lirih menahan kantuk.
Bayi itu tidak merespons. Dia sibuk memeluk, menggigiti, menciumi, hingga mengelus boneka bernama Moomin itu.
Raffa menghela napasnya cukup berat, perlahan ia memejamkan mata saking mengantuk. Hingga tak sadar jika dirinya terlelap memasuki alam mimpi.
Zidan berhenti bermain. Ia menendang boneka berbentuk kuda nil itu sampai terjatuh dari atas tempat tidur. Merangkak ke dalam pelukan Raffa dan menyamankan posisi tidurnya di sebelah sang kakak.
"Ceyamat mayam, Ffa." Dan Zidan lekas menutup kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanficBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias