"Sekian pembelajaran hari ini, segera pulang dan jangan pergi kemana-mana dulu, karena sebentar lagi akan turun hujan."
"Baik Pak."
Raffa mengemasi buku pelajaran ke dalam tas sekolah. Sungguh hari melelahkan karena Raffa tengah mempersiapkan kelulusannya bulan depan. Raffa harus fokus pada setiap materi pembelajaran. Cara seperti itu bisa membuatnya lulus dan mendapat juara kelas lagi.
"Ayo pulang, aku akan mengantarmu."
"Aku ingin mengembalikan buku di perpustakaan dulu, kau tunggu sebentar."
Raffa berjalan keluar dari kelas. Hassan kembali duduk. Selagi menunggu, ia memilih bermain game di ponselnya. Tak lama kemudian Raffa memanggilnya. Hassan menyimpan ponsel ke kantong celana dan berlari kecil menyusul Raffa. Hassan mengerti bagaimana kerasnya Raffa dalam berusaha ingin mendapatkan juara kelas. Persaingan antara anak pintar semakin sengit.
Hassan tidak terlalu peduli dengan ranking, karena ia siswa santai yang berharap segera lulus dan bisa mengungkapkan perasaannya kepada Raffa.
"Udaranya berubah dingin. Jangan mengebut ya, nanti tubuhku beku." Raffa tertawa oleh ucapannya sendiri. Hassan pun melepas jaketnya kemudian memasangkannya di tubuh Raffa.
"Eh? tidak perlu, aku tadi hanya bercanda."
"Sudah diam."
Raffa mengembuskan napas lalu duduk di sebelah Hassan. Rumah mereka memang tak searah, tetapi Hassan seringkali mengantar Raffa sampai depan rumah. Keduanya sedang menunggu bus umum berhenti, bahkan beberapa penumpang lain juga sudah ada di sana.
Tiba-tiba hujan langsung turun mengguyur seluruh area yang semula kering. Hassan melirik Raffa di mana sosok mungil itu tampak menggigil karena kedinginan. Hassan merangkul Raffa, membuat si mungil mendongak menatapnya.
"Jangan protes, kau kedinginan."
Siswi SMA yang duduk tak jauh dari keduanya pun memekik tertahan saat melihat pemandangan manis tersuguhi di depan mata. Raffa diam menikmati kehangatan dari pelukan Hassan. Temannya itu sangat perhatian. Raffa menjadi terharu, padahal ia selalu membuatnya kerepotan.
"Langsung mandi pakai air hangat, setelah itu minum cokelat hangat dan memakai selimut yang tebal. Pokoknya jangan sampai sakit. Aku pulang dulu."
Raffa mengangguk-angguk paham. Teman sekelasnya itu berlari menerobos hujan untuk sampai ke halte bus. Raffa sempat menawarkan payung, tetapi Hassan menolak.
Raffa membuka pintu rumahnya, dan hal pertama yang ia lihat adalah di meja makan terdapat banyak sekali makanan.
Aroma sedap bisa tercium jelas dari tempatnya berdiri. Buru-buru Raffa melepas sepatu kemudian berlari ke kamar. Ia akan mandi dulu baru bergabung sarapan bersama ibunya. Raffa heran, tumben sekali ibunya memasak banyak, pasti untuk dirinya.
Setelah selesai iapun bergegas keluar. "Bu, kau baik sekali mau menyiapkan makanan untuk anakmu ini. Aku berjanji akan membantumu membereskan piring-piring setelah ini huhuu~"
Saat Raffa hendak duduk, ibunya muncul dari dapur dan langsung menghentikannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Wendi. Di tangannya membawa semangkuk makanan lagi.
"Tentu saja makan."
Wendi tertawa terbahak. "Ini untuk teman-teman ibu yang akan datang nanti. Kau tahu, ibu baru saja di terima bekerja di salah satu restoran," jelas Wendi bersemangat.
"Ibu sebagai apa di restoran itu?"
Senyuman Wendi langsung luntur. "Ah, jika kau ingin makan ambil sendiri di dapur. Ibu harus bersiap-siap." Alih-alih menjawab, justru Wendi malah mengalihkan topik pembicaraan. Wanita itu meletakkan mangkuk di atas meja, dan saat hendak pergi Raffa segera mencegahnya.
"Jawab pertanyaanku, Bu."
"Itu tidak penting. Ibu bekerja untukmu juga, 'kan?" Kemudian Wendi meninggalkan Raffa yang berdiri sembari memandangnya dengan tatapan sayu.
Sebenarnya Raffa senang bisa melihat ibunya tertawa lepas bersama teman-temannya. Mendengar jika Wendi bekerja sebagai petugas kebersihan di restoran, membuat Raffa kesal tentunya. Raffa menghargai keputusan sang ibu yang memilih bekerja paruh waktu, tapi Raffa tidak ingin melihat ibunya kelelahan.
Raffa harus bisa mendapat nilai tertinggi supaya ibunya juga bangga akan kemampuan akademiknya. Raffa ingin mempunyai masa depannya secerah matahari di mana ia bisa membuat ibunya berhenti bekerja dan menggantikan posisi sang ibu menjadi tulang punggung keluarga.
Di dalam kamar, Raffa hanya bisa duduk membaca buku pelajaran guna mengulas kembali materi-materi di kelas tujuh.
"Ffa~"
Raffa menoleh saat Zidan memanggilnya. Sepertinya dia sudah bosan bermain dengan mainannya. Raffa pun lekas mengangkat tubuh mungil Zidan saat adiknya mengusap mata tanda bahwa dia sudah mengantuk.
"Mengantuk, huh? ya sudah sekarang tidur."
Raffa membaringkan Zidan di atas kasur. Ia duduk bersandar, tangannya bergerak mengusap lembut rambut Zidan agar adiknya lekas tertidur. Tak membutuhkan waktu lama bagi Zidan terlelap. Udara dingin yang membuatnya bisa langsung tidur tanpa harus menghidupkan AC atau kipas angin. Raffa tersenyum sembari memperbaiki selimut yang menutupi tubuh adiknya.
Setelah Zidan tidur, Raffa kembali ke meja belajar. Sesekali mencatat bagian penting sebagai kunci jawaban yang bakal ia hapalkan sebagai bahan ulangan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Nono
FanfictionBagaimana perasaanmu saat seorang ibu tiba-tiba menyerahkan anaknya kepada orang asing? Itulah yang Raffa alami. ©Lillavias