Nenek

1.2K 91 3
                                    

Ido POV

"ayo masuk cu, ini rumah nenek" ucapnya. Aku masih dalam posisi waspada. Perlahan aku masuk ke rumahnya sambil menggenggam tangan Fiki dan Fiko. Langkahku terhenti pada sebuah foto berukuran besar di dinding ini. Seorang laki-laki yang gagah di foto ini, sejak kecil aku memang sudah bercita-cita menjadi seorang TNI, ya meskipun sekarang hal itu sirna sudah karena suatu kejadian yang tidak aku inginkan. "itu foto anak nenek cu, tapi sayang sekarang dia sudah dipanggil yang mahakuasa karena tertembak pada saat penugasan"

"maaf nek, saya tidak bermaksud nek"

"tidak apa-apa, ayo duduk" ucapnya mempersilahkan kami duduk di sova. "ayo diminum, pasti kalian kepanasan. Air dingin pasti bisa menyegarkan tenggorokan kalian" aku masih terdiam sementara Fiki dan Fiko menunggu ijin dariku. "kenapa? Kamu takut nenek racuni atau taruh obat tidur di minuman ini? yasudah kita minum sama-sama" dia menuangkan minuman ini ke gelasnya lalu minum dari gelasnya. Aku pun menuangkan minuman ke gelasku dan untuk Fiki dan Fiko juga.

"maaf nek, kami sudah tidak sopan"

"nenek mengerti posisi kamu saat ini, disaat dunia banyak yang tidak perduli bahkan berbuat jahat untuk kepentingan diri mereka sendiri. Nah sekarang cerita lah" aku pun bercerita bagaimana aku mencari ibuku hingga kecopetan lalu bekerja di pasar terdekat terminal. "kasihan sekali kamu cu, sayang nama ibumu itu Aida, nenek pun sedang mencari menantu nenek. Tetapi namanya Astria. Pada saat anak nenek meninggal, menantu nenek sedang mengandung. Saat itu mereka tinggal berdua, tetapi nenek tidak mendapat kabarnya lagi setelah kematian anak nenek"

"saya turut berduka nek" jawabku sekenanya.

"terima kasih, tapi kejadian itu sudah sangat lama jadi nenek sudah terbiasa menghadapinya. Kamu tidak perlu khawatir" dia pun beranjak dari kursinya lalu ke sebuah ruangan. Setelah dari ruangan itu dia membawa beberapa lembar uang ratusan ribu. "ambil ini, untuk ongkos kamu kembali ke Jakarta ya cu. Nenek rasa jumlahnya cukup untuk ongkos juga bekal kamu" ucapnya tersenyum.

"nek, kok nenek baik banget sih sama orang asing kaya kita nek? Bisa aja saya nipu nenek Cuma buat dapet uang loh nek. Nenek ga kepikiran itu?" dia masih tersenyum lalu menggenggam tanganku. Lalu memberikan uang ini untuk aku genggam.

"nenek ga punya alasan untuk membantu kamu, intuisi nenek yang bilang nenek harus bantu kamu"

"tapi saya ga bisa terima uang ini begitu saja nek, saya ga bisa"

"hmm, sepertinya kamu mirip sama anak nenek. Dia paling ga mau hutang budi sama seseorang, katanya membuat dirinya tidak bebas. Entah apa yang dimaksud bebas itu apa. Begini saja, uang ini nenek pinjamkan. Kamu harus balikin ke nenek. Soal waktu pengembaliannya kamu pilih sendiri setelah kamu punya uangnya lagi ya" aku berpikir sebentar dengan tawaran ini. pasti akan aku kembalikan. Aku langsung bangkit dan mencium tangan nenek.

"terima kasih nek" ucapku. tidak terasa air mataku jatuh tepat dipunggung telapak tangan nenek. "maaf nek, tangan nenek jadi kotor" ia memegang kepala belakangku lalu mengelusnya.

"dengerin nenek ya cu, meskipun di luar sana banyak orang jahat dan tidak perduli sama kamu. Tapi Pasti masih ada tangan-tangan hangat yang mau berbagi kehangatan untuk mereka yang membutuhkan" aku mengangguk untuk pesan nya itu. "yasudah, nenek mau masak. Kalian istirahat saja dulu biar nanti malam bisa punya energy lebih untuk berangkat. Siang ini kita makan sama-sama ya" ucapnya hangat.

 Ia pun beranjak menuju dapur. Aku tidak bisa diam saja atas kebaikan nenek. Fiki dan Fiko sepertinya kelelahan. Mereka aku suruh tidur di kamar yang nenek perbolehkan kami untuk tidur. Sedangkan aku, aku membantu nenek menyiapkan makan siang. Meskipun nenek melarangku tetapi aku tetap melakukan yang aku bisa di dapur. Sekali lagi dia bilang aku mirip dengan anaknya.

Waktu makan siang, aku membangunkan Fiki dan Fiko untuk makan. Kami berempat makan bersama, meskipun dengan lauk yang seadanya. Nasi, tahu tempe sambal dan sayur kangkung. Nenek bersikeras memaksaku untuk beristirahat setelah makan siang, aku pun tidur setelah makan siang. Ketika aku bangun, aku lirik jam di ruangan tengah.

Sudah pukul 5 sore. Aku bisa dengar gelak tawa Fiki dan Fiko yang sedang mandi bersama di belakang. Lalu nenek muncul dari kamarnya. "kamu mandi juga ya" ucapnya memberikan aku handuk. Setelah selesai mandi dan bersiap tepat pukul 7 malam, kami hendak pamit kepada nenek. "ingat pesan nenek ya cu" ucapnya.

"iya nek, terima kasih buat kebaikan nenek " ucapku lalu aku mencium tangannya.

"makasih ya nek" ucap Fiki dan Fiko juga lalu mencium tangan nenek.

"kalian berdua jangan nakal ya" ucap nenek pada Fiki dan Fiko. Disaat itu seseorang datang dengan pakaian tentara, tubuhnya tegap dan gagah. Rahang yang kokoh menandakan ia juga seorang prajurit sejati.

"nenek..." panggilnya. Dia melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum membalas.

"cucu nenek dateng" ucap nenek.


 " iya nek, Negara baru sampe banget soalnya. Biasa macet" ucapnya. jadi namanya Negara.

"nek maaf menganggu. Aku, Fiki dan Fiko pamit ya"

"iya, hati-jati ya cu" ucap nenek. Kami pun perlahan menjauh dari rumah itu dan segera menuju terminal. Sesampainya disana kami langsung masuk bus jurusan Jakarta dan tepat tengah malam bus pun berangkat ke Jakarta.

Selama di perjalanan aku terjaga tidak hanya untuk menjaga kedua adikku yang sudah tertidur pulas tetapi juga penasaran dengan alamat yang diberikan oleh bu sumarni. Fajar menyingsing dan perlahan di luar sana langit kembali menjadi terang.

Sesampainya di terminal di Jakarta aku bergegas kembali ke kontrakan. Di kontrakan Diman, ternyata dia belum bangun. Beberapa kali aku mengetuk pintu tetapi dia belum juga menjawab.


yuk dukung dengan vote dan komen

Office Boy GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang