Minggat

28 4 16
                                    

Aku menghentikan langkahku ketika sampai di bukit belakang kompleks. Sebenarnya bukit ini adalah milik developer yang sama dan rencananya akan dibangun kompleks perumahan baru. Namun, hingga hari ini bukit ini tidak pernah digarap. Ada yang bilang karena penunggu bukit ini tidak setuju jika tempatnya dibangun menjadi perumahan. Ada juga yang bilang jika mereka tak bisa menemukan pembeli untuk proyek perumahan yang baru. Aku jelas lebih percaya versi pertama dibandingkan versi kedua.

Aku duduk di pinggir bukit dekat pohon paling besar yang ada di sana. Aku tak tahu itu pohon apa, tetapi pohon itu sudah ada disana sejak aku masih kecil. Ketika aku kecil, aku suka memanjat pohon itu bersama Taiki dan anak-anak kompleks lainnya. Para orangtua selalu mengatakan jika pohon itu angker dan banyak penunggunya agar kami berhenti memanjatnya. Namun, namanya juga anak-anak bandel, jelas tidak peduli mau angker atau tidak. Bahkan sekalipun sudah jatuh dari pohon, ketika sembuh pun akan memanjat lagi. 

Aku memandang jauh kebawah dan menghela napas berat. Aku kekanakan sekali langsung pergi dari rumah tanpa pikir panjang. Sekarang aku tak tahu harus tidur di mana malam ini. Jika aku pulang, pasti Ibu akan mengomeliku habis-habisan. Tadi saja Ibu sudah sangat marah, apalagi jika aku pulang. Harusnya aku tahan saja tadi dan memilih untuk tidur, bukannya malah pergi dari rumah. Kebodohanku ini kapan hilangnya sih? 

"Haaah~" Aku tak tahu sudah menghela napas berat ini berapa kali.

Aku masih diam memandang ke kompleks perumahan di bawah bukit, hingga aku mendengar suara yang tak asing dari belakangku.

"Hayoloh malem-malem disini sendirian nanti diganggu penunggu sini." Itu adalah Taiki yang berbicara. Ia berbicara seperti itu seolah-oalah ia sangat pemberani, padahal ia penakut dengan hal-hal mistis. 

"Kamu sendiri ngapain di sini? Kamu kan penakut," jawabku berusaha agar tidak ketus.

"galak banget sih mbaknya. Jangan galak-galak dong, nanti saingan sama anjing galaknya pak satpam kompleks," godanya.

"Enak aja nyamain aku sama anjing!" Aku makin kesal karna disamakan dengan anjing milik satpam kompleks.

"Duh, bukan gitu maksudnya," jawabnya serba salah. 

"Kamu kenapa?" tanyanya sambil duduk di sampingku.

"Nggak kenapa-kenapa," jawabku.

"Aku tadi denger Ibu kamu teriak, pasti ada apa-apa kan?" Taiki masih memaksaku untuk menceritakan apa yang terjadi.

Aku masih diam tak menjawab. Lebih tepatnya aku menahan agar airmataku tak jatuh lagi. Sejak keluar dari rumah aku sudah meneteskan air mata, ketika sampai di bukit aku baru berhenti menangis dan aku tak ingin menangis lagi. 

"Ada masalah sama Ibu?" tanyanya lagi.

Aku masih tak bersuara, aku hanya menjawab pertanyaannya dengan gelengan pelan. 

"Berantem sama sodara-sodaramu?"tanyanya lagi.

Aku menggeleng pelan, lalu mengangguk. Aku tak yakin dengan jawabanku. Aku memang bertengkar dengan abang Sawa, tapi.... Entahlah.

Kami diam selama beberapa menit. Taiki juga entah kenapa berhenti bertanya. Tanpa aku sadari airmataku menetes lagi. Semilir angin malam menerpa wajahku yang basah dengan airmata dan membuat wajahku terasa sangat dingin. 

"Nih, lap pake ini. Itu ingus kemana-mana." Taiki mengulurkan sapu tangannya padaku.

"Apaan sih," kataku sambil menerima sapu tangan yang disodorkan Taiki. "Jangan protes ya kalo penuh ingus," kataku lagi sambil menyeka hidungku yang penuh cairan dengan sapu tangan Taiki.

"Ya cuci dulu lah sebelum kamu balikin," jawab Taiki sambil tertawa pelan.

"Feel better?" tanyanya lagi setelah aku selesai menyeka hidungku.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang