Siap Berangkat

5 1 3
                                    

"Udah nggak betah ya di sana, makanya balik ke sini?" Pertanyaan Reo membuatku tertawa.

"Kenapa kamu mikirnya gitu?" tanyaku setelah aku puas tertawa. Aku menahan diri untuk tidak tertawa nyaring dan lama. Bisa-bisa ada orang yang ketakutan karena mendengar suara tawaku di malam hari.

"Ya, habisnya belum ada sebulan kamu pindah, sekarang udah balik lagi." Reo menjawab sambil mengedikkan bahu.

"Kalo aku kangennya sama kamu gimana?" tanyaku asal sambil menyanggah daguku dengan tanganku yang bertumpu pada railing balkon.

"Preet. Kamu yang bucin parah sama Taiki nggak mungkin lah-" ucapan Reo terhenti bersamaan dengan raut wajahku yang berubah masam karena mendengar nama Taiki disebut.

"Ups, sori. Keceplosan," ucapnya sambil meringis. Sepertinya ia merasa bersalah karena sudah menyebutkan nama Taiki.

Aku menghela napas lelah. "Yaudah lah, yang udah lewat nggak usah dibahas," ucapku sambil mengibaskan tanganku yang bebas.

"Betewe kamu tau soal anak angkat Ayahku sama sepupuku yang tinggal di sini?" tanyaku berusaha mencari topik perbincangan lain.

"Si Kodai sama Weesa?" tanya Reo yang kujawab dengan anggukan kecil.

"Aku udah ketemu mereka sih. Kodai anaknya baik, ramah banget. Tiap ketemu aku juga selalu nyapa. Sekilas muka dia agak mirip kayak Ta—Ehem, kayak tetangga sebrang rumahmu." Suara Reo sedikit mengecil di akhir kalimat. Walaupun awalnya aku tidak menyadari kemiripan mereka karena aku terlalu syok, tapi setelahnya aku mulai menyadari sedikit kemiripan antara Taiki dan Kodai. Tidak mirip sekali, hanya saja jika melihat sekilas akan terlihat jika mereka berdua mirip.

"Weesa sekarang tinggi banget ya. Aku nggak nyangka dia setinggi itu. Padahal dulu dia lebih pendek dari aku." Reo melanjutkan sambil sedikit bernostalgia. Dulu memang Weesa sering mampir bersama dengan kedua orangtuanya. Sebelum mereka meninggal tentunya.

"Itu sih memang kamunya aja yang pendek," ejeku.

"Eh, ngaca ya kamu. Aku masih lebih tinggi dari kamu ya," jawabnya tak mau kalah.

"Lebih tinggi sedikit doang, juga," aku tak mau kalah.

Perdebatan kami terus berlanjut hingga beberapa waktu dan baru berhenti ketika Nacchan memanggilku untuk masuk.

"Kak, udah malem. Masuk gih, nanti kakak masuk angin, lagi," ucap Nacchan yang seketika membuatku berdecak kesal. Bisa-bisanya dia mengungkit soal masuk angin.

"Sesama orang yang langganan masuk angin dilarang buka aib," ucapku sedikit kesal.

"Udah gih masuk sana. Nanti kalo masuk angin, aku lagi yang disalahin." Reo malah ikut-ikutan membuatku kesal.

"Kakak jangan marah dong, lagian besok kakak mesti siap-siap. Kakak kan kalo tidur kebo banget. Nanti kalo kesiangan riweh sendiri." Ucapan Nachhan membuatku teringat jika aku belum mengemas barang-barang yang akan kubawa untuk pergi ke Bali.

"Siap-siap?" tanya Reo. "Memangnya kamu mau pergi kemana Rin?"

"Oh, aku belum bilang ya? Aku mau ikut Om Naoto ke Bali," ucapku gembira. Aku bahkan melupakan jika aku sedang kesal tadi.

"Loh, kerjaanmu di kantor abang Sawa gimana?"

"Aku cuti dong. Udah di approve abang Sawa juga. Hehe."

"Ckck, mentang-mentang adeknya bos, ngajuin cuti kayak beli permen. Gampang banget. Aku aja ngajuin cuti dari kapan gak di approve juga sampe sekarang. Alesannya sih katanya kerjaan lagi banyak-banyaknya...." Tiba-tiba Reo malah curhat colongan. Mau tak mau aku mendengarkan segala keluh kesahnya. Ya, setidaknya sebagai ucapan terimaksih karena ia juga sangat sering mendengarkan keluh kesahku.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang