Nostalgia (part 1)

22 3 11
                                    

"Rin, kamu makannya jangan banyak-banyak dong, yang lain nggak kebagian nih," protes abang Sekai saat aku mengambil sepotong martabak telur.

"Loh, 'kan abang beliin buat Rin," protesku balik.

"Abang beli buat kita semua ya. Ini martabak lima bungkus, 3 bungkusnya kamu sendiri yang ngabisin. Kalo anak cewek mah biasanya ngurangin makanan berminyak. Lah kamu?" omel abang Sekai.

"Kak Rin kan bukan cewek," ejek Nacchan.

"Heh, jangan sembarangan ya kalo ngomong." Aku memukul lengannya keras hingga ia mengaduh kesakitan.

Setelah sesi berpelukan seperti teletubis dan aku meminta maaf ke Ibu, abang Sekai mengusulkan agar kami merayakan kembalinya diriku dengan makan banyak camilan dan juga bermain game bersama. Nacchan dan Keito yang paling semangat menyetujuinya. Sejujurnya kami memang sudah jarang bercengkrama bersama seperti ini. Semakin beranjak dewasa, kami semakin sibuk dengan urusan masing-masing hingga tidak terlalu mempedulikan satu sama lain. 

Tumbuh dewasa tidak pernah menyenangkan. Rasanya aku ingin kembali ke masa kecilku saja. Saat kecil aku tak perlu memikirkan banyak hal dan aku bisa bermain sepuasnya.

"Minumnya abis nih. Nacchan, kamu turun gih isi minum lagi," titah abang Sekai pada Nacchan.

"Iih kok aku sih? Keito aja nih yang turun," protesnya. Keito yang dilempari pekerjaan juga ikutan protes pada Nacchan dan mereka pun saling berdebat.

"Udah kalian jangan berantem, abang aja yang turun isi minumnya," lerai abang Sawa. Ia meraih botol minum dan melangkah menuju pintu kamar. 

Setelah abang Sawa turun mengisi botol minum, kami pun melanjutkan bermain game sambil menikmati camilan yang ada. Kali ini giliranku melawan Nacchan. Aku memang tak terlalu pandai bermain game, sih. Tapi aku percaya diri jika aku akan kalah dari Nacchan. Hehe. Adikku yang satu ini cukup jago bermain game. Sejak kecil ia sudah bermain banyak game.

Sudah hampir 10 menit abang Sawa turun dan tidak kembali. Tenggorokanku sudah kering minta dibasuh air.

"Kok abang Sawa lama banget sih ngisi air doang?" tanyaku sambil menekan-nekan asal tombol stik ps.

"Ketiduran kali di bawah," jawab Nacchan asal.

"Yeeey menang!!" Nacchan berdiri sambil mengangkat kedua tangannya tinggi di udara karena ia akhirnya mengalahkanku. Sudah kuduga aku tak akan pernah menang.

"Aku mau susul abang Sawa deh, udah haus nih," kataku sambil beranjak dari depan televisi. Keito mengambil alih tempatku untuk melawan Nacchan dalam game.

Aku menuruni tangga perlahan. Lampu-lampu di rumah sudah banyak dimatikan. Hanya beberapa lampu saja yang masih menyala. Samar-samar aku mendengar suara dari bawah, dari arah dapur. Aku melangkah sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara sedikitpun. Ketika mencapai lima anak tangga terakhir, aku berhenti. Suara itu terdengar semakin jelas. Suara Ibu dan abang Sawa yang sedang berbincang.

"Ibu harusnya bersikap biasa aja sama Rin," ucap abang Sawa. Aku tak tahu yang dimaksud abang Sawa karena aku tak mendengar awal percakapan mereka.

"Ibu nggak tahu harus bersikap gimana sama Rin," jawab Ibu. Aku bisa mendengar kesedihan dalam nada suara Ibu.

"Waktu Rin minta maaf ke Ibu tadi, rasanya Ibu kayak orang jahat. Apa yang dia bilang semuanya bener. Selama ini Ibu udah ngabaikan Rin Cuma karna dia cucu kesayangan nenek. Padahal Rin juga nggak pernah kenal sama nenek. Seharusnya Ibu nggak kayak gitu. Harusnya Ibu yang minta maaf ke Rin." Suara Ibu bergetar ketika mengucapkan setiap kalimat itu. Mataku tiba-tiba memanas.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang