Undangan

7 0 0
                                    

Seminggu setelah kepindahan, aku mulai terbiasa dengan sepi yang melingkupi bangunan ini. setidaknya tempat ini ramai saat pagi hingga sore. Ya walaupun tidak ramai sekali. Faktanya penghuni gedung ini saat pagi hingga sore hanya aku, abang sawa, kenta dan rui. Hanya kami berempat, tidak bisa dibilang sedikit, tapi juga tidak banyak.

"Rin, siang ini kita makan apa?" tanya Rui saat aku sedang fokus dengan pekerjaanku.

"Hm?" gumamku. "Makan nasi," jawabku.

"Ente memang kadang-kadang ngeselin ya Rin. Kita juga tau makan nasi, masa iya makan batu." Rui menimpali karena tidak puas dengan jawabanku.

"Ya berarti bener kan jawabanku," balasku.

"Ya maksudnya bukan gitu Rin," sanggah Rui lagi.

"Maksut e iku lauk e apa Rin?" Kenta mencoba menengahi perdebatanku dengan Rui.

"Ayam," jawabku, "tiren," lanjutku.

"Ente bener-bener ya Rin." Rui sepertinya mulai kehilangan kesabarannya menghadapiku.

"Rin, kamu jangan iseng dong." Abang Sawa tiba-tiba muncul dan menegurku.

"Ih, kan becanda abang," jawabku.

"Nani siang kita makan ayam goreng aja ya. Bahan-bahan sudah habis tinggal ayam ding, belum sempet belanja juga," ucap abng kepada Rui dan Kenta.

"Aman bang, yang penting kita makan. Hehe," jawab Kenta sambil terkekeh.

Selama aku dan abang mulai tinggal di sini, setiap hari kami menyediakan makan siang untuk Rui dan Kenta. Lebih tepatnya berbagi makanan dengan mereka. Tentu saja yang memasak adalah abang. Kenta dan Rui selalu protes juka aku yang memasak. Padahal masakanku tidak kalah enak dengan masakan abang Sawa.

"Habis makan siang nanti kalian jaga kantor ya, saya mau ada urusan sama Pak Mitra," pinta abang sawa pada kami bertiga.

"Pak Mitra iku mantan bosmu toh Rin?" tanya Kenta padaku.

Aku memiringkan kepalaku sambil menggali memoriku mencoba mengingat nama mantan bosku. "Bosku dulu bukannya namanya Pak Mifta?" tanyaku.

"lah, piye toh Rin? Mantan bos sediri kok gak inget," protes Kenta.

Aku mengangkat bahu. Karna memang aku sudah lupa dengan nama mantan bosku. Lagipula apa gunanya aku mengingat namanya? Mengingat tempat kerja lamaku membuatku kembali mengingat kenangan buruk di sana.

*****

"Rin, kita pulang ya," pamit Rui padaku yang masih berkutat dengan pekerjaan.

Aku mendongak menatap Rui dan Kenta bergantian. "Ah, iya, hati-hati gess," jawab Rin sambil melambaikan tangan mengantar kepergian kedua teman sekaligus rekan kerjanya itu.

Setelah mereka mengendarai motor mereka meninggalkan area kantor, aku pun kembali meneruskan pekerjaannku. Aku tidak merasa perlu cepat-cepat pulang karena toh tempat tinggalku kini di lantai atas dan juga tak ada orang di sana, jadi lebih baik aku berlama-lama menyelesaikan pekerjaanku daripada kesepian di rumah.

Tak lama kemudian, fokusku terinterupsi oleh suara dentingan lonceng pertanda pintu depan dibuka. Aku kira itu adalah klien dan hendak mengatakan jika kantor sudah tutup. Namun, saat aku menoleh, sosok di ambang pintu membuatku terkejut.

"Taiki," ucapku masih tak percaya dengan apa yang kuliaht.

"Kamu ngeliat aku kok kayak ngeliat hantu sih?" Taiki berjalan menghampiriku dan menarik kursi kosong di sebelahku.

"Iya kamu kayak hantu, muncul tiba-tiba," jawabku. "Kenapa kamu ke sini?" tanyaku.

"Memang nggak boleh aku mampir?" jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang