Calon Menantu Kesayangan Ibu

52 5 15
                                    

Hari ini adalah hari Minggu. Hari dimana harusnya aku bersantai sepanjang hari sambil membaca komik. Akan tetapi, sedari pagi Ibu sudah berteriak mengomeli anak-anaknya untuk bangun lebih cepat dan membantu membersihkan rumah. Padahal rumah ini sudah cukup kinclong tanpa perlu sering-sering dibersihkan. 

"Rin, bangun! Nacchan, kamu juga bangun! Hari ini kalian nggak bisa malas-malasan ya. Hari ini calon mantu Ibu mau mampir ke rumah, jadi rumah harus kinclong." Ibu membangunkan kami dengan paksa. 

Nacchan dengan malas menggumam mengiyakan titah Ibu. Padahal matanya masih terus terpejam dan ia tak bergerak sedikitpun dari kasur. Bahkan saat selimutnya disingkap oleh Ibu. 

Aku dengan berat hati bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Karena berjalan dengan mata yang masih setengah terpejam, beberapa kali aku hampir menabrak tiang dan dinding. Untung saja abang Sawa yang paling perhatian dengan adik-adiknya ini membantuku agar jidatku tidak beradu dengan benda keras. 

"Melek dulu dek, nanti jidatmu benjol lagi kayak minggu lalu." Abang Sawa mengingatkanku kejadian seminggu yang lalu ketika jidatku terantuk kusen pintu kamar mandi.

Aku hanya menggumam tidak jelas menanggapi peringatan abang Sawa. Lalu aku melanjutkan jalanku menuju toilet. Tentu saja masih dengan mata setengah terpejam.

"Dek, agak ke kiri dikit biar nggak nabrak kusen pintu lagi." Abang Sekai memberikan arahan kepadaku. Aku dengan mode ngantuk, tentu saja menurut. Namun tak lama kemudian jidatku malah beradu dengan benda keras.

DUGG!!

Suara nyaring terdengar ketika jidatku beradu dengan dinding kamar. Aku terpental dan jatuh ke lantai. Rasa sakit di jidatku membuatku sadar sepenuhnya. 

"Duh, sakiiiitttt," rengekku. "Abang Sekai kenapa jahil banget sih sama aku? Jidatku kan jadi benjol lagi," protesku kepada Abang Sekai yang malah asyik mengunyah roti yang ia pegang.

"Kak Rin, suara benturannya keras banget loh kak. Kayaknya kedengeran se-Kecamatan eldeha," ejek Keito yang baru mengganti piama birunya dengan kaos putih.

"Diem kamu bocah!" bentakku kepada Keito.

"Bu, Kak Rin marahin Kei," adunya pada Ibu sambil pura-pura menangis.

"Rin, jangan jahat-jahat sama adikmu dong. Sudah sana cepet cuci muka terus bantuin berberes rumah." Ibu malah memarahiku, padahal Ibu tahu jidatku baru saja terbentur dinding. Aku semakin kesal karna Keito menjelurkan lidahnya mengejekku. Aku pun balik memelototinya.

"Nacchan, bangun kamu. Atau kamu mau Ibu siram air satu ember biar bangun?!" Ibu kembali meneriaki Nacchan yang tak kunjung bangun dan aku pun pergi menuju toilet.

*****

Dengan sangat terpaksa aku pun membantu berberes rumah. Padahal rumah ini sudah kinclong tanpa debu, tapi kami masih dipaksa untuk membersihkannya hanya karena seorang gadis bernama Adeeva akan datang. 

Ngomong-ngomong, Adeeva ini pacar abang Sawa. Adeeva dan abang Sawa sudah mulai berpacaran sejak abang Sawa di tahun ketiga kuliah. Dia tinggal di kompleks sebelah. Ketika kami masih kecil, kami sering bermain petak umpet bersama di taman kompleks. Setiap bermain petak umpet, pasti aku selalu dijadikan anak bawang bersama Hokuto, Sota dan juga Keito. Padahal Nacchan yang lebih muda 2 tahun dariku tidak dijadikan anak bawang. Begitu pula dengan Kazuma dan Kaisei. Aku merasa seperti dianak tirikan. 

Tapi positifnya, aku jadi tidak perlu berjaga, hehe.

Ah, satu fakta lain mengenai Adeeva. Dia itu sangat galak, apalagi jika berhubungan dengan abang Sawa. Jika ada perempuan yang melirik abang Sawa sedikit saja, dia pasti akan memelototi orang itu atau bahkan meneriakinya. Pernah suatu waktu ketika mereka sedang jalan bersama, ada seorang Ibu-Ibu yang menghampiri abang Sawa dan menawarinya untuk menjadi menantunya. Abang Sawa hanya tersenyum dan meolak, tetapi Adeeva malah memasang wajah sangar dan menegur si Ibu itu. Waktu itu aku tidak sengaja melihatnya sih, dan ketika itu aku ingin tertawa. 

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang