Kencan (?)

11 0 0
                                    

Setelah melakukan perjanjian dengan Adeeva, aku harus melihat mereka bermesraan di rumah. Seperti hari ini. mereka sedang menonton televisi sambil menikmati camilan yang dibuat oleh abang Sawa. Sedangkan aku haru melihat mereka bermesreaan dari meja makan. Aku junga ingin nonton tapi bukan menonton mereka berpacaran. Aku berkali-kali menghela napas lelah hingga akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke kamarku.

"Rin, nggak mau nonton juga?" tanya abang Sawa.

"Nonton apaan? Nontonin kalian pacaran?" sarkasku lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Aku berjalan menuju kasurku dan merebahkan diri. Aku harus bertahan beberapa hari lagi agar aku bisa tampil cantik di depan Taiki. Sesulit inikah perjuanganku hanya untuk tampil cantik di depan Taiki. Padahal ia sudah sering melihat penampilanku yang biasanya. Seandainya undangan itu tak pernah ditujukan kepadaku, aku tidak perlu mengalami hal ini kan?

Sial sekali diriku.

*****

Keesokan harinya, aku bekerja seperti biasa. Dah hari ini pun Adeeva datang lagi sepulang kerja. Rasanya aku ingin mengusirnya jika aku tidak memiliki perjanjian dengannya.

"Adeeva kok rajin betul ke sini?" tanya Kenta yang sedang bersiap pulang.

Aku hanya menghela napas menjawab pertanyaan Kenta.

"Yang aku sama calon kakak ipar," ejek Rui.

Mendengar ejekannya, akupun memukul lengannya. Aku mengabaikannya yang protes karena pukulanku sangat sakit. Siapa suruh mengejekku.

Tapi memang sejak Adeeva berpacaran dengan abang Sawa aku jadi tidak akur dengannya. Padahal dulu hubungan kami biasa saja. Aku rasa aku cemburu karena abangku menjadi lebih perhatian kepada Adeeva daripada kepadaku. Dan yang paling memicu permusuhanku dengannya adalah karena Ibu lebih sayang kepadanya daripada kepadaku. Bisa disimpulkan jika aku tak bisa akur dengannya hanya karena kecemburuanku dan membuatku menjadi merasa inferior di depan Adeeva. Apa aku harus mulai dekat dengannya? Apalagi kami akan jadi keluarga saat ia menikah dengan abang Sawa.

Aku sengaja berlama-lama di kantor bahkan saat abang Sawa sudah naik ke lantai 2 bersama Adeeva. Aku muak melihat mereka bermesraan dan membuatku yang jomblo ini menjadi iri. Lagipula bisa-bisanya mereka tidak merasa malu bermesraan di depanku. Harusnya aku adukan saja pada Ayah dan Ibu jika mereka bermesraan di rumah. Tapi jika aku melakukannya abang Sawa akan membunuhku karena menghalangi kebucinannya.

Lamunanku terhenti saat aku mendengar suara pintu depan diketuk. Karena pintu itu dari kaca, aku bisa melihat jelas apa yang ada di luar ruangan. Aku cukup kaget mendapati Taiki berdiri di depan pintu sambil melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku pun beranjak dari kursiku dan membuka pintu. Saat Kenta dan rui pulang tadi aku sudah menguncinya. Jika tidak, Taiki pasti sudah langsung masuk tanpa perlu mengetuk pintu.

"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku.

"Jadi aku nggak boleh ke sini?" rajuknya.

"Bukan gitu, tumben aja kan kamu ke sini," jawabku sambil berjalan kembali menuju kursiku.

Aku duduk kembali di kursiku dan mempersilakan Taiki untuk duduk dimanapun ia suka. Ia menarik kursi di sampingku lalu duduk.

"Kamu lembur?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Nggak, cuma males naik aja," jawabku sambil bertopang dagu.

"Kenapa memangnya?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas lelah sebelum menceritakan tentang Home date abang Sawa dan Adeeva dengan mengecualikan perjanjianku dengan Adeeva. Taiki mendengarkan keluh kesahku dengan baik bahkan tanpa menyela sedikitpun. Ia terus mendengarkanku bahkan saat aku mengumpat karena kesal mereka bermesraan di depanku. Sesekali Taiki tertawa saat aku mengumpat dan tawanya membuat jantungku berdegup kencang. Rasanya aku bisa cepat mati jika mendengar suara tawanya setiap hari.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang