Derita Rin

29 4 17
                                    

"Kamu bilang mau ke kedainya Om Tetsuya. Nggak jadi?" tanyaku ketika kami berjalan menuju kedai mie ayam.

"Tadinya habis nyelesain kerjaan mau kesana, tapi karna ada kamu jadi ganti rencana deh," jawabnya.

"Sori," kataku sedikit merasa bersalah karena membuatnya harus mengubah rencananya.

"Ngaak perlu minta maaf, 'kan nanti habis makan kita bisa mampir kesana," hibur Taiki.

Sahabatku yang satu ini terkadang menyebalkan, namun dia juga sangat pengertian. Dia selalu bersedia menghiburku ketika aku sedih. Aku merasa beruntung memiliki Taiki sebagai sahabatku.

"Adeeva masih suka galak sama kamu?" tanyanya ketika kami sudah sampai di kedai mie ayam langganan kami dan duduk di salah satu bangku setelah memesan.

Aku menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Taiki. Seminggu yang lalu aku memposting salah satu foto keluargaku. Di foto itu tentu saja abang Sawa terlihat sangat tampan. Beberapa menit setelah aku memposting foto itu, Adeeva mengirimkan pesan padaku dan memintaku untuk menghapus postingan itu. Ketika aku menolak, ia malah memarahiku. Dia bilang, "harusnya kamu jangan posting foto abang sembarangan, mana akunmu nggak kamu gembok lagi. Nanti kalau ada yang naksir abang gimana?" dan juga beberapa omelan lainnya.

"Oh iya, kamu beneran gk ada niatan buat ngelamar kerja di kantorku? Di kantorku lagi nyari drafter nih." Ini bukan pertama kalinya Taiki menawariku untuk melamar kerja di kantor tempat ia bekerja. Namun, sebanyak ia menawari, sebanyak itu pula aku menolak. 

Bukannya apa? Aku pernah memiliki pengalaman buruk yang membuatku trauma hingga sekarang. Aku jadi tak berani bekerja di perusahaan besar karena pengalaman buruk itu. 

"Masih trauma?" tanya Taiki retoris. Pertanyaan itu jelas tak membutuhkan jawaban. Karena dia tahu pasti jawabannya akan tetap sama. 

"Dari yang aku denger, dia ngelakuin kesalahan yang sama. Habis itu dia dipecat deh." Tiba-tiba Taiki menyinggung tentang orang yang tak ingin kuingat. 

"Nggak usah bahas dia deh, bikin selera makanku jadi berkurang aja," kataku sambil menekankan pada kata 'dia'.

Taiki tertawa melihat raut kesal yang tergambar jelas di wajahku. Dia juga meledekku habis-habisan. Dia bilang wajahku seperti pemeran antagonis dalam sinetron yang sering ditonton Ibunya. 

Habisnya aku kesal sekali sih.

Tak lama setelahnya, pesanan kami datang. Dua mangkuk mie ayam porsi jumbo dan dua gelas es jeruk. Sedari tadi, perutku yang keroncongan sudah tidak sabar menyantap mie ayam di depanku hingga tandas. Namun, sebelum itu ada ritual yang harus kulakukan. Aku menarik mangkuk Taiki dan mendekatkannya dengan mangkukku. Aku mentransfer semua sawi dan ayam yang ada di mangkukku ke mangkuk Taiki.

"Oh iya, aku lupa bilang yang punyamu nggak pakai sawi. Maaf ya," katanya. Aku menggeleng menanggapinya dan melanjutkan kegiatanku memindahkan sawi dan ayam ke mangkuknya. 

"Kamu kalau makan sama temenmu yang lain kayak begini juga?" tanyanya.

"Kayak begini gimana maksudnya?" Aku balik bertanya sambil mengerutkan dahi bingung.

"Ini, nransfer sawi sama ayam ke mangkuk orang lain?" Sambil berkata, ia tertawa pelan.

"Sejauh ini aku cuma pernah nransfer sawi sama ayam ke mangkukmu, sama keempat sodaraku." Aku menjawab sambil menuangkan sambal ke mangkukku. "Oh, sama Leiya juga," lanjutku sambil menyebut nama salah satu sepupuku yang baru beberapa bulan lalu datang dari Surabaya.

Taiki tersenyum mendengar jawabanku. Ia lalu mengaduk mie ayam di mangkuknya dan mulai menyantapnya. Sedangkan aku, aku masih sibuk membumbui mie ayamku dengan sambal dan sedikit kecap manis. Kami tidak banyak bicara selama makan. Mungkin karena aku sangat kelaparan, makanya aku lebih fokus dengan makanan. Hehe, jika sudah dengan makanan aku bisa mengabaikan yang lain. 

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang