Nostalgia (part 3)

12 2 3
                                    

Setelah selesai makan malam, abang Sekai memintaku membelikan camilan di minimarket yang terletak di depan kompleks perumahan kami. Aku dengan terpaksa menuruti perintah abang Sekai, karena ia berjanji akan mengizinkanku membeli apapun yang aku inginkan. Aku ternyata sangat mudah disogok ya.

Aku menutup pintu depan dengan pelan, setelahnya aku menuruni undakan menuju pagar. Ketika aku membuka pagar, aku mendengar suara yang menggodaku.

"Cewek, mau kemana malem-malem?" godanya. Aku memutar bola mataku. Aku sangat kenal dengan si pemilik suara.

"Idih, masih jaman ya godain cewek?" Aku melayangkan tatapan meremehkan kepada si penggoda. Ia tertawa melihat responku.

"Ahahaha. Kamu mah susah digodain ya. Taiki doang yang bisa godain kamu," ejeknya.

"Ih, kamu kenapa ngeselin terus sih Re," kesalku. Dan ia hanya tertawa mendengar tanggapanku. 

Dia adalah Reo. Anak bungsu dari pasangan suami istri yang cukup religius, namun ketiban sial karena memiliki anak-anak yang kelakuannya seperti iblis. Terutama si bungsu ini.

Oh, kami teman sekolah sejak masih di taman kanak-kanak. Selain Taiki, dia salah satu anak yang dekat denganku dan bisa aku sebut sebagai teman. Sejak kecil kami selalu melakukan "kejahatan" bersama. Kami dikenal sebagai duo pembuat masalah. Banyak yang bilang, jika aku dan Reo bersama hanya akan ada kekacauan. Lebih tepatnya otak jahilku semakin encer jika bersama Reo. Reo adalah parterku dalam melakukan kejahilan.

"Mau kemana?" tanyanya setelah berhenti tertawa.

"Mau ke minimarket depan kompleks. Kenapa? Mau ikut?" tanyaku.

"Jajanin aku pocky ya," pintanya.

"Ih enak aja. Kamu lah yang seharusnya jajanin aku," protesku.

"Kamu kan sudah bukan pengangguran lagi," katanya lagi.

"Ya tapi kan aku belum gajian OReo," jawabku sambil mengejeknya.

Aku memanggilnya OReo ketika aku sedang kesal dengannya. Ia tahu aku sedang mengejeknya, namun ia selalu bilang jika itu adalah panggilan sayang dariku untuknya. Dasar bocah itu.

"Udah deh, ngobrol sama kamu buang-buang waktu aja. Nanti aku malah kena omel abang Sekai lagi," ucapku sambil membuka pagar.

Ketika aku menutup pagar, Reo baru saja meloncati pagar rumahnya. Hal yang selalu ia lakukan jika ia malas membuka pagar.

"Wah, udah lama nih nggak liat Reo atraksi lompat pagar," ejekku.

"Hehe," kekehnya sambil tersenyum lebar menampilkan deretan giginya.

Aku pun melangkahkan kaki meunju gerbang kompleks. Aku kira Reo tak akan mengikutiku, namun ternyata ia malah berjalan di sampingku.

"Ngapain kamu ngikutin aku?" tanyaku.

"Kamu nih gimana sih? Aku nih lagi jadi bodyguardmu tau'. Biar kamu gk digodain sama mamang-mamang di pangkalan ojek depan kompleks.

"Idih alasan nih pasti. Kamu pasti mau jalan bareng aku, kan?" godaku.

"Idih, kepedean ya kamu," ucapnya sambil tersenyum sekilas lalu raut wajahnya berubah datar setelah mengatakan hal itu.

"Dasar OReo," ucapku sambil memukul pundaknya. Ia protes dengan pukulanku yang katanya jauh lebih sakit dibandingkan dulu.

Jika kuingat kembali, aku dan Reo tidak hanya memiliki kesamaan suka membuat onar. Kami sama-sama tidak pandai bergaul dengan orang lain. Teman Reo memang masih lebih banyak dariku, namun tetap saja ada masa dimana ia tak bisa berteman dengan baik. Terutama karena dia bertingkah seperti preman. Di dalam hidupku, orang selain keluargaku yang menghiburku hanya ada dua orang. Yang pertama adalah Taiki, dan yang kedua adalah Reo. Karena aku terlambat sekolah satu tahun, aku tidak terlalu sering bertemu Taiki di sekolah. Saat itulah aku lebih dekat dengan Reo, karena kami selalu sekelas.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang