Terancam Gagal Nikah

25 2 9
                                    

Setelah abang Sawa yang menunjukkan foto cincin dan abang Sekai menentang keinginan abang Sawa, terjadi perang dingin antar dua abang tertua. Dan ini sudah memasuki hari kedua. Ini bahkan jauh lebih mengerikan ketimbang saat abang Sawa marah padaku ketika aku merusak kencannya dengan Adeeva.

Aku beberapa kali mencoba mendamaikan mereka namun gagal. Sialnya lagi, kedua adiku terus memaksaku agar membuat kedua abang kami berdamai. Mentang-mentang aku anak tertua ketiga, mereka memaksaku menjadi penengah.

Tapi, aku memang anak tengah, sih.

"Haaa~" aku menghela napas lelah untuk kesekiankalinya hari ini.

"Abang, jangan marahan lagi dong, plis. Rin sedih liatnya," rengekku akhirnya. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana harus mendamaikan mereka berdua.

"Nggak usah diliat," jawab abang Sekai ketus.

Aku memandang abang Sekai dan abang Sawa bergantian. Abang Sawa bahkan pindah tempat untuk sementara. Biasanya meja kerjanya bersampingan dengan abang Sekai, namun dua hari ini ia menginvansi mejaku.

Duh, aku pusing. Beritahu aku bagaimana mendamaikan dua abangku ini! Huhuhu...

*****

Suara gemerisik hujan membuatku sedikit tenang. Aku mengasingkan diri sementara ke balkon belakang. Perang dingin kedua abangku benar-benar membuatku pusing. Aku tidak tahu bagaimana membuat kedua orang itu damai. Sepertinya kali ini mereka tidak akan ada yang mau mengalah. Abang Sawa tidak ingin berlama-lama berpacaran dan ingin menikah, namun abang Sekai sebagai anak tertua tidak ingin dilangkahi. Di sisi lain, abang Sekai belum memiliki calon.

Aduh, kepalaku jadi makin pusing.

"Haaa~"

"Hoi, ngehela napas mulu dari tadi. Kaya' banyak beban aja," tegur Reo dari rumah sebelah.

Entah mengapa aku tidak kaget dengan teguran Reo. Padahal biasanya aku kaget jika ia menegurku tiba-tiba.

Aku menoleh sekilas ke arah Reo yang berdiri di beranda rumahnya. Setelah menoleh, aku pun kembali menghela napas lelah.

Aku benar-benar lelah.

"kenapa sih kamu? Ada masalah apaan lagi?" tanya Reo.

Aku kembali menatap Reo dan menghela napas lelah.

"Kenapa sih? Mulai aneh deh," kesalnya.

Aku tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang sedang kuhadapi saat ini. Sepertinya berhadapan dengan Feby jauh lebih mudah dibandungkan dengan perang dingin kedua abangku.

"Abangku berantem," ucapku lelah.

"Kamu berantem sama abangmu?" tanya Reo.

"Bukan aku, tapi abang Sekai sama abang Sawa," jawabku sambil membenamkan kepalaku di lipatan kedua tanganku.

"Kok bisa? Berantem gara-gara apa?" tanya Reo lagi.

Aku tak menjawab dan menghela napas lagi.

"Kalo hujan udah reda mau keluar nggak?" ajak Reo.

Aku mengangkat kepalaku dari lipatan tangan dan menatap Reo. Ia tersenyum padaku. Bukan senyum jahil seperti biasanya. Itu adalah senyum tulus.

"Makan mie ayam," ucapnya lagi sambil tersenyum lebar menampilkan deretan gigi rapinya.

"Kamu yang bayarin?" tanyaku.

Reo mengangguk menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum lebar dan mengiyakan ajakan Reo. Aku mana bisa menolak traktiran dari temanku, hehe.

Cerita AbsurdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang