Setelah mendapatkan izin dari abang Sawa, aku langsung mengajukan cuti. Sebuah privilege yang hanya bisa kudapatkan karena bos tempatku bekerja adalah abangku sendiri. Aku pun sedang bersiap untuk pulang ke rumah Ayah dan Ibu untuk meminta izin mereka terkait bantuan yang diminta Om Naoto. Om Naoto memintaku membantu pekerjaanya di luar kota. Aku tentu saja sangat tertarik karena setidaknya aku jadi bisa menjauh dari Taiki untuk sementara waktu.
"Kamu pulang hari ini?" tanya abang Sawa dari depan pintu kamarku yang memang tidak aku tutup.
"Iya bang," jawabku. "Abang mau pulang juga?" tanyaku saat melihat abang Sawa berpakaian rapi seperti akan pergi keluar.
"Iya," jawabnya. "Cepetan siap-siapnya. Bareng abang," lanjutnya, lalu pergi meninggalkan kamarku.
Sesuai perintah abang, aku pun mempercepat kegiatanku memasukkan beberapa barang ke dalam tasku. Setelah selesai, aku langsung menuju ruang tamu dan mendapati abang sedang duduk di sofa menungguku.
"Udah bang, ayok pulang," ajakku riang. Aku rindu berbagi kamar dengan saudara-saudaraku.
*****
Saat sampai di rumah, aku sempat melirik ke arah rumah Taiki sebelum masuk ke dalam rumah. Hanya sekedar melirik saja. Aku tak berharap akan bertemu Taiki. Tepat ketika pintu rumah Taiki akan terbuka, aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Memang belum pasti Taiki yang keluar dari rumah itu, tapi aku tak ingin mengambil resiko bertemu dengan Taiki secara tidak sengaja.
Lamunanku tentang Taiki terbuyarkan karena tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang.
"Kakaaak! Aku kangen banget sama Kakak. Kenapa baru pulang sekarang sih?" Aku tersenyum mendengarnya. Aku jadi teringat ketika aku pergi dari rumah selama beberapa hari.
"Kei, kamu jangan monopoli Kak Rin dong. Aku juga kangen tauk." Mendengar suara adikku yang lain membuatku semakin tersenyum lebar. Seketika aku lupa tentang Taiki.
"Segitu kangennya ya sama aku?" Aku terkekeh menanggapi tingkah kedua adikku.
"Ih, kakak tuh lama banget gak pulang, kan kita jadi kangen," ucap Keito setelah melepaskan pelukannya.
"Terus kenapa kalian nggak ke sana? Padahal aku juga belum lama banget pindah." tanyaku pada kedua adikku yang kini berdiri bersisian di depanku.
"Hehe, mager kak. Jauh banget sih," jawab Nacchan sambil terkekeh. Aku hanya menggeleng menanggapi tingkah Nacchan.
"Kalian mau sampe kapan di sana?" Teriakan Ibu dari dapur membuat aku dan kedua adikku langsung menuju dapur. Di meja makan sudah terhidang banyak makanan. Jauh lebih banyak ketika aku dan abang Sawa masih tinggal di rumah ini. Saat ini memang sudah waktunya makan malam. Kami datang tepat ketika orang-orang rumah akan makan malam.
"Wah, makanannya banyak banget. Padahal dulu Ibu nggak pernah masak sebanyak ini kalau nggak ada acara," ucapku sambil memindai makanan di atas meja. Benar-benar beragam. Dan semuanya adalah masakan kesukaanku dan abang Sawa.
"Hari ini Ibu masak spesial buat kamu sama Sawa, Rin." Ucapan Ayah sontak membuatku menatap Ayah dengan mata terbuka lebar. Jika Ayah mengatakan Ibu memasak ini semua untuk abang Sawa, tentu saja aku tak akan heran. Tapi tadi Ayah juga menyebutku dalam pernyataannya. Aku melirik Ibu sekilas dan aku menangkap gelagat salah tingkah dari Ibu. Dan entah mengapa itu membuatku canggung.
"Abang Sekai mana?" tanyaku mencoba menghalau kecanggungan yang kurasakan.
"Masih di atas kayaknya Kak. Sebentar aku panggil deh." Nacchan akan berdiri dari kursinya, namun aku hentikan.
"Udah aku aja yang panggil," ujarku lalu berdiri dari kursi dan menaiki tangga.
Saat aku membuka pintu kamar, aku mendapati abang Sekai duduk di depan komputernya masih mengerjakan komiknya. Aku berjalan sehening mungkin agar abang Sekai tidak menyadari kehadiranku. Aku berniat mengagetkannya. Saat berjalan semakin ke tengah ruangan, tiba-tiba fokusku teralihkan ke samping kiriku dimana ranjang kami berlima berada. Aku berhenti melangkah karena sudut mataku menangkap ada yang duduk di ranjangku. Saat aku menoleh, aku melihat seorang anak lelaki duduk di ranjangku. Ia menatapku kaget, begitu pula aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Absurd
FanfictionIni hanyalah cerita absurd tentang kebobrokan Kakak dan juga adik-adikku beserta orang-orang absurd lainnya di kehidupanku. Namaku Rin, ngomong-ngomong. Anak ketiga dari lima bersaudara. Dari kami berlima hanya satu saja yang terlihat normal. Sisan...