Setelah apa yang terjadi di acara ulang tahun pernikahan mantan bosku, aku mengabaikan pesan dan panggilan dari Taiki. Aku pun hanya menjawab singkat pesan dari Reo yang menanyakan apakah aku baik-baik saja? Tentu saja aku tak baik-baik saja. Lagipula siapa yang akan baik-baik saja setelah melihat orang yang selama ini ia cintai mengumumkan akan bertunangan dengan perempuan lain.
"Rin, kamu sudah bangun kah?" tanya Om Naoto setelah mengetuk pintu kamar.
Semalam Om Naoto membawaku pulang ke rumahnya. Lebih tepatnya aku menolak diantar pulang ke rumah Ayah dan Ibu apalagi ke rumah abang Sawa. Saat sampai di rumah Om Naoto, aku langsung masuk ke dalam kamar Om Naoto. Biasanya Om Naoto akan protes jika aku masuk ke kamarnya, tapi semalam ia sama sekali tak mengajukan protes. Aku berakhir menangis di dalam kamar hingga kelelahan dan tertidur.
"Kamu mau sarapan apa?" tanya Om Naoto lagi.
Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu. Ketika aku membuka pintu, yang aku lihat adalah wajah Om Naoto yang penuh kekhawatiran. Aku mencoba tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran Om Naoto. walaupun aku tidak dapat melihat senyumku saat ini, tapi aku yakin aku terlihat menyedihkan bukannya terlihat baik. Buktinya wajah Om Naoto semakin terlihat khawatir.
"Aku mau bubur ayam aja Om," ucapku dengan suara serak.
"Yaudah Om beliin dulu. Kamu mandi dulu sana." Om Naoto berkata sambil mengusap kepalaku lembut. Aku hanya tersenyum lemah sambil mengangguk.
Saat Om Naoto pergi, aku pun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai aku mengenakan kaus dan celana training milik Om Naoto yang aku ambil dari lemari Om Naoto sebelum aku ke kamar mandi. Kemudian aku menuju ke dapur dan mendapati Om Naoto sedang menata meja makan. Dua mangkuk bubur terhidang di atas meja.
"Makan sini Rin," ajak Om Naoto. aku hanya mengangguk dan menuju meja makan.
Aku duduk di kursi sebrang Om Naoto dan mulai menyendok bubur di mangkuk di depanku. Sejujurnya aku tak berselera makan, tapi aku tidak punya pilihan selain makan. Jika aku sakit, nanti Om Naoto akan mengatakan kepada Ayah dan pasti aku akan diinterogasi. Aku tentu tidak ingin mengungkapkan fakta jika aku sedang patah hati kepada Ayah ataupun Ibu.
"Sawa bilang, kemungkinan dia baru balik besok pagi. Kamu mau nginep di sini lagi atau pulang ke rumah Kak Ari?" tanya Om Naoto di sela kegiatan sarapan kami.
Aku tak langsung menjawab. Aku berpikir, haruskan aku menginap lagi atau kembali saja ke rumah Abang Sawa. Mengingat besok adalah hari senin dan aku tentu saja harus tetap bekerja. Biar bagaimanapun, patah hati tak membuat waktu berhenti. Waktu tetap berjalan, hari tetap berganti, dan aku harus tetap bekerja.
"Aku balik ke tempat Abang Sawa aja Om," ucapku akhirnya setelah menelan bubur yang ada di dalam mulutku.
"Yaudah. Mau Om anter balik jam berapa?" tanyanya lagi.
"Habis sarapan aja Om," jawabku.
Setelahnya, tak ada percakapan lain lagi dan aku menikmati sarapanku. Pura-pura menikmati. Karena aku sama sekali sedang tidak bernafsu untuk makan.
Setelah selesai sarapan dan membereskan peralatan makan yang tadi kupakai, aku pun kembali ke kamar om Naoto untuk mengambil tas dan sepatu milik Adeeva. Aku tak mungkin meninggalkan barang milik Adeeva di rumah Om Naoto. Om Naoto sudah di pintu depan ketika aku keluar dari kamarnya. Ia membukakan pintu untukku dan keluar setelah diriku. Aku mengenakan sandal jepit yang ada di teras rumah Om Naoto tanpa permisi. Jika pemiliknya tidak protes, itu artinya sandal ini boleh dipakai.
"Dress kamu nggak kamu bawa?" tanya Om Naoto padaku.
"Buang aja Om," jawabku tanpa menoleh dan terus berjalan menuju mobil Om Naoto.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Absurd
FanfictionIni hanyalah cerita absurd tentang kebobrokan Kakak dan juga adik-adikku beserta orang-orang absurd lainnya di kehidupanku. Namaku Rin, ngomong-ngomong. Anak ketiga dari lima bersaudara. Dari kami berlima hanya satu saja yang terlihat normal. Sisan...